Menjadi pedagang antar kampung belum lama di lakoninya. Segara rupa jualannya, diambilnya dari kebun orang tuanya di seberang sungai. Dia tidak menjaga gengsi demi kebutuhan rumah tangganya. Toh, hasil kebunnya cukup melimpah dan sayang kalau tidak dijual. Apa lagi kampungnya, cukup jauh dari pasar. Sementara kebutuhan dapur seperti yang dijualnya, sangat dibutuhkan sabang hari oleh warga setempat.
Sebelum dirinya beringsut pergi ke kampung sebelah untuk menjajakan jualannya, saya mengajaknya foto berdua. Dia tak keberatan, walau terlihat malu-malu. Saya mencoba meyakinkannya bahwa kami bertujuan baik. Ada inspirasi darinya yang menjadi pelajaran bagi semua orang. Setelah dua kali jebretan kamera handphone, cukup membuktikan bahwa kami memang benar-benar berjumpa hari ini.
Dan sesaat kemudian kami pun juga memutuskan pulang, sebelum langit kembali menangis. Langit memang masih diselimuti awan tebal dan tak membiarkan matahari menghangatkan semesta. Di sini, di desa Kananta. Sebuah desa pesisir yang juga berdekatan dengan perbukitan dan gunung yang menjulang tinggi, kami berpijak dan menjejaki kenangan.
Kami memahat momen dengan barisan aksara dan dokumentasi yang mungkin kelak menjadi histori. Adakah kami berkesempatan berpijak lagi ke desa ini? Entahlah, kepada waktu kami menaruh harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H