INI bukan kali pertama saya berpijak di Desa Kananta, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima - NTB, Jumat, (4/2/2022). Namun kali ini berbeda. Saya datang dengan sejumlah kawan. Dua mobil pula. Perjalanan yang kami tempuh sangat jauh. Melelahkan. Dari Desa Rasabou, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu -NTB, kampung dimana kami tinggal. Di sanalah kami memulai perjalanan.
Jalan yang berkelok-kelok. Menanjak serta medan yang menantang adrenaline adalah ujian yang harus kami lewati. Terlebih sebagian di antara kami ada yang belum pernah bertandang di desa yang berada di mulut teluk Bima ini. Sebelumnya mereka hanya mendapat informasi yang berseliweran dari mulut ke mulut. Hanya memendam penasaran. Menyimpannya cukup lama hingga menemukan waktu yang tepat untuk bertandang.
Misi kami hanya satu. Menyambangi salah seorang saudara kami yang tinggal di Desa Kananta. Di sinilah ia tinggal dan memahat keharmonisan dengan keluarga kecilnya. Dan pada saat yang bersamaan, dia sedang membangun rumah. Ada beberapa kawan yang sengaja di datangkan dari kampung halamannya untuk membantunya membangun rumah. Kami juga datang sekaligus menyiram hubungan baik dengan jalan silaturahmi.
Sebelum sampai di Desa Kananta, kami terlebih dahulu menunaikan sholat jum'at berjamaah di salah satu desa ternama di kecamatan Soromandi. Di desa ini, ketika saat memasuki waktu sholat jum'at, para pengendara diberhentikan dan jalan di tutup. Bukan pemaksaan, tapi mengajak para pengandara yang melintas untuk menunaikan sholat jum'at terlebih dahulu. Tentunya yang  berstatus muslim. Kebetulan masjidnya sendiri tepat dipinggir jalan. Maka, ketika ada kendaraan yang melintas akan mengganggu jamaah yang sedang sholat. Sehingga itu mungkin alasan, kenapa jalan di tutup sementara waktu selama sholat juma'at dilangsungkan.
Saat kembali melanjutkan perjalanan, hujan datang membasahi tanah dan kendaraan yang kami tumpangi. Sehingga indahnya teluk Bima terhalang rinai hujan yang membasahi kaca jendela mobil. Untungnya sesampainya di tempat tujuan, hujan telah redah walau masih menyisakan gerimis. Di Desa Kananta, kami disambut hangat oleh kawan-kawan setelah turun dari mobil. Perjalanan yang lumayan jauh membuat kami sejenak harus mencari tempat rebahan. Istirahat lalu melepas penat.
Namun sesaat kemudian, beberapa di antara kami ingin menjelajahi luasnya desa. Setelah bersepakat, akhirnya kami berjalan kaki menuju utara desa dengan melewati kelokan gang kampung yang di kiri kanannya di kelilingi pagar bambu dan kayu. Desa Kananta langsung berhadapan dengan laut. Kami menjejaki pasirnya yang ke hitam hitaman. Di bibir pantai ada tembok penahan air laut. Tampak air laut sedang ngamuk walau ombaknya tidaklah seberapa mengkhawatirkan.
Sementara di seberang lautan, terlihat atap rumah warga berjejer. Berwarna warni atapnya. Kubah masjid terlihat jelas diantara bangunan yang lain. Di laut lalu lalang kapal dan perahu, baik yang keluar di mulut teluk maupun menaklukan ombak di lautan Flores ini. Karena langit masih mendung, gunung Api Sangiang yang ada di seberang lautan tidak terlihat jelas.
Di atas air laut yang tak jauh dari bibir pantai hanya terlihat beberapa perahu yang ditambatkan. Menari di atas hempasan ombak yang tidak seberapa besar. Angin laut berhembus pelan memberi kedamaian kala kami melepas pandang pada semesta yang maha luas. Sejenak kami mengabadikan momen dengan foto bersama di ujung jalan yang dibuat mengarah ke laut. Tampak seperti dermaga. Tapi di tengahnya hanya onggokan batu yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan. Kaki kami hanya menapakinya di pinggirnya saja untuk sampai di ujungnya.
Sementara di bagian barat Desa Kananta, tampak ribuan hektar rerimbunan pohon jagung yang bergelombang di atas perbukitan. Rumah - rumah warga berjejer di bibir pantai. Ada rumah panggung, tidak sedikit rumah batu yang tampak mulai di bangun. Warganya selain menjadi nelayan, juga mendaki bukit dan gunung untuk berladang. Terlebih di musim penghujan seperti sekarang ini, warganya berada di ladang menjaga tanamannya.
Di sebelah timur kampung ada jembatan penyebrangan. Jembatan ini menghubungkan dengan dusun Nggeri. Warga setempat memanfaatkan jembatan ini, selain merekatkan silaturahmi sesama warga desa juga menjadi pintu untuk menyambangi ladang dan kebunnya di seberang sungai. Jembatan mungil ini tampak cantik dengan sapuan warna kuning dan birunya. Dari arah jembatan ini, kampung dan laut bisa dilihat dari sisi yang berbeda.
Saat menikmati pemandangan di atas jembatan, seorang perempuan sedang ingin beranjak ke seberang sungai. Dengan sopan sejenak saya mengajaknya berbincang. Dia tidak keberatan. Senyumnya merekah dengan gestur yang kelihatan masih malu-malu. Terlihat tangan kanannya memegang baskom di kepalanya yang isi beragam kebutuhan dapur; terong, bawang merah, kemangi, kangkung dan segala rupa kebutuhan lainnya.
Namanya Nisa. Umurnya hampir 40-an tahun. Dia sedang berjualan. Dengan berjalan kaki, ia keluar masuk gang kampung. Dan kali ini ia ingin menjual hasil kebunnya ke dusun tetangga.Pendapatannya tidaklah seberapa besar, tapi cukup memenuhi kebutuhan keluarganya.
"Biasanya dapat 20-an sampai 30-an ribu perhari, itu kadang jual sore hari" Ucapnya pelan.