Di dapur, mereka berkumpul lalu mengambil perannya masing-masing. Ada yang memarut kelapa, memotong nangka serta rempah-rempah lainnya hingga memasak dengan kepulan asap yang membumbung tinggi di udara. Di dapur, mereka pun bisa bersenda gurau satu sama lain. Dapur hajatan menjadi ruang sosial baru dimana perempuan - perempuan ini akan berinteraksi sembari menyulam hubungan di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Dalam mempersiapkan kuliner hajatan mereka bersua dan berbagi kisah.
Dalam menyiapkan semua kebutuhan dapur beberapa di antaranya bahkan datang sebelum terang tanah. Mulai dari memastikan keberadaan priuk, dandan, hingga beberapa menu masakan termasuk ketersediaan kayu bakar. Sementara untuk mengkoordinir urusan dapur, ditunjuk seseorang yang biasanya memahami serta yang berpengalaman dalam urusan perut ini.
Di kampung, walau sudah umum menggunakan gas, tapi beberapa masakan masih menggunakan nyala api dari kayu bakar dengan asapnya yang kadang membuat mata perih. Tapi semua itu tetap dilakoni oleh perempuan - perempuan ini. Mereka serupa pegawai kantoran yang harus menuntaskan pekerjaan dengan cara professional. Karena baik dan buruknya hasil masakan akan menentukan reputasi mereka sebagai chef di hajatan berikutnya.
Di kampung, mereka tidak digaji. Semua atas dasar solidaritas dan sikap saling membantu satu sama lain. Mengambil bagian dalam hajatan adalah merupakan keniscayaan. Karena kapan tidak memberi kontribusi, maka bersiaplah untuk mengurusi sendiri hajatannya. Serupa hubungan simbiosis mutualisme yang membutuhkan satu sama lain.
Tapi ada yang miris, ketika pejabat memberi sambutan, tampaknya tidak ada apresiasi terhadap kerja keras perempuan 'berasap' ini. Mereka tidak diperhitungkan, seolah perannya di dapur tidak berarti apa-apa. Pada hal merekalah yang memiliki andil dibandingkan para pejabat yang duduk manis lalu berceloteh murahan di atas panggung. Yang di hormati dan diberi penghargaan malah kepada mereka yang tidak tahu sama sekali bagaimana proses acara itu sedari awal.
Sangat jarang kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali ucapan terimakasih dari mulut sampah mereka berpidato di atas penggung kepada perempuan - perempuan yang bersimbah peluh di dapur. Sementara berkat perempuan itulah mereka bisa mencicipi makanan yang tersaji di atas meja makan hajatan.
Malah sering terdengar adalah sanjungan, pujian kepada sesama para pejabat. Mereka seolah khawatir kehormatannya sebagai pejabat akan luntur kalau tidak disebut dan sanjung di depan para tamu undangan. Umumnya para pejabat memang sangat mengemis untuk dipuja dan dipuji oleh khalayak ramai.
Kadang mereka pura-pura tidak paham antara berada di panggung politik atau berada di acara hajatan warga dan hadir memberi ucapan selamat. Memang pejabat di negeri +62 ini kadang miskin adab, tidak bisa membedakan mereka sedang berkampanye dengan hadir secara ikhlas di acara warga. Busuknya lagi, mereka melupakan ucapan terimakasih kepada perempuan yang memberinya makanan di acara yang mereka hadiri. Memang tidak semua, tapi pejabat yang demikian ada di tengah-tengah kita.
Selain itu, perempuan mestinya mendapat tempat yang sama untuk memberi sambutan. Tapi yang sering terlihat, laki-laki memiliki kesempatan lebih dibandingkan kaum perempuan. Bahkan tampak benar, laki-laki menunjukkan sikap inferior-Nya kepada perempuan kala memberi ucapan selamat kepada pengantin di atas pelaminan kala acara pernikahan di gelar. Rombongan laki-laki diberikan kesempatan pertama sebelum perempuan.
Perempuan mestinya diberi sempatan yang sama dengan laki-laki dalam pekerjaan tertentu. Kaum perempuan tidak bisa lagi dinilai sebagai kelas kedua dalam struktur kehidupan sosial kemasyarakatan. Bukan lagi saatnya mempertentangkan hubungan laki-laki dan perempuan.
Tiba-tiba saat menulis ini, saya mendengar lagu dari group musik Ada Band dengan lirik.