Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan-perempuan Hebat

27 Desember 2021   13:11 Diperbarui: 27 Desember 2021   13:16 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KALA sapuan mentari di ufuk timur menyapu semesta, beberapa perempuan tampak sudah berada di areal persawahan, Minggu, 19 Desember 2021. Pagi ini mereka akan mencabut bibit padi di tempat persemaiannya. Tampak mereka mengambil posisi sesuai bedeng dimana bibit padi muda terlihat hijau merata.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Beberapa perempuan ini sudah terbiasa menjadi buruh tani. Besar dan hidup menjadi petani merupakan hal yang lumrah dijalaninya dengan berlapang dada. Mereka mendapatkan upah dari hasilnya bekerja, bahkan ada pula yang menggunakan sistem balas budi yang dalam bahasa setempat dengan sebutan weha rima. Ketika yang lain membutuhkan bantuan, maka di waktu yang lain pula akan datang membantu.Sistem ini tidak tertulis, tapi telah berlaku sejak lama. Saling membantu dengan cara seperti ini, akan menghemat  bajet atau keuangan yang memiliki pekerjaan. Mereka akan saling memberi bantuan lewat tenaga. Tapi jika terdapat halangan, maka biasanya keringat itu akan dibayar dengan nominal uang yang sudah disepakati.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Pekerjaan mencabut bibit memang khusus dilakukan oleh kaum hawa. Sementara laki-laki hanya akan memindahkan bibit yang sudah dicabut ke petak sawah yang sudah digarap halus dengan menggunakan traktor. Pembagian pekerjaan ini juga sudah berjalan dengan sendirinya antara laki-laki dan perempuan. Sejak lama hingga kini masih berlaku.

Perempuan hebat ini telah bersemai bersama lajunya waktu. Bersimbah peluh demi keluarga dan kebutuhan ekonomi yang menghimpit. Di sawah tidak hanya misi menuntaskan pekerjaan. Tapi juga menjadi ruang sosial dimana mereka berbagi beragam cerita. Ada banyak topik yang diulas lalu tak pernah ada kesimpulan. Cerita itu berantai sembari tangan bergerak cepat mencabut bibit.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Mereka berkubang tanah, sembari melepas hasrat untuk berkisah. Mengurai dengan analisis keibuan yang menyimpan tanda tanya. Serasa ada kepuasaan kala cerita itu diwartakan kepada yang lain. Sesekali tertawa lepas kala cerita itu menggelikan. Mereka serupa infotainment yang mengulas sisi lain seorang artis. Mulai dari hubungan asmara seseorang hingga mengenai menu dapur tetangga menjadi topik yang tak luput dari perbincangan.

Kala ditanya alasannya. Perempuan - perempuan ini dengan antusias menjawab, bahwa cerita yang disampaikan hanya lah cara agar rasa lelah dapat ditepikan. Hanya sebagai penghibur diri. Ibaratnya menyelam sambil minum air. Sambil bekerja, bisa juga melepas cerita kepada yang lain. Karena hanya dengan begitu segala yang dipendam akan bisa tersalurkan walau pun harus menceritakan tentang aib orang lain. Namun demikian perempuan hebat ini telah mampu menjadi inspirasi bagi generasi akan ketabahannya dalam menjalani kehidupan. Baik sebagai ibu bagi anak-anaknya juga sebagai istri bagi suaminya di rumah.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Menahan teriknya matahari, basah-basahan dengan air yang berkeruh  adalah bukti nyata atas kerja keras yang ditunjukkan perempuan hebat ini. Mereka menjadi inspirasi di antara keengganan banyak generasi yang tidak mau turun lagi ke sawah. Yang mereka lakukan serupa mementaskan kepada khalayak ramai bahwa perempuan di desa adalah mereka yang memberi hidup bagi masyarakat perkotaan dengan hasil pertanian yang mereka hasilkan.

Tidak perlu ragu atas dedikasi perempuan hebat ini kepada negeri. Memang tidak secara langsung, tapi dari keringat mereka bertani menjadi penyokong bagi keberlangsungan pangan bagi masyarakat lain. Kadang apa yang mereka rasakan tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan. Tapi mereka tidak mengeluh apa lagi mengalah pada keadaan. Bertubi ujian berlaksa-laksa menghantam, tapi tak cukup membuat mereka menyerah pada keadaan. Semakin dibenturkan, malah semakin kuat dan membentuk.

Itulah kisah hebat perempuan - perempuan tani yang menenun kisah lewat persemaian padi. Mereka serupa mentari yang memberi hangat kehidupan untuk terus memberi arti pada setiap inci peristiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun