DI pagi buta. Malam belum beranjak pergi. Adzan subuh baru saja menggema. Pekatnya malam masih menyelimuti semesta. Ibu sudah datang mengetuk pintu kamar, menyuruh membawa beberapa karung benih padi ke sawah. Walau dengan mata yang masih sedikit terpejam, saya mendorong ke luar kuda besi merek Jupiter dari tempat peraduannya.
Saya membelah jalan yang masih cukup sepi. Warga kampung belum banyak beranjak dari tempat pembaringannya. Hanya ada beberapa lelaki tua yang melewati gang dengan peci dan sajadah di tangan. Tampaknya baru selesai menunaikan kewajiban sebagai hamba ilahi dari masjid terdekat.
Saya tidak sendiri. Saya bersama bapak dengan benih yang di selipkan di tengah-tengah sadeng motor. Beranjak menuntaskan misi untuk menebar benih di hari ini, Minggu, 28 November 2021. Sawah kami tidak seberapa jauh dari kampung. Hanya sekira lima menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Jalannya pun sudah mulus.
Ketika semerbak sapuan mentari di ujung timur menyapa hangat semesta, tangan ibu begitu cekatan memasukan bibit di dalam ember. Hari ini, bapak yang dibantu dua orang sanak keluarga akan menebar benih di satu petak sawah yang tak seberapa besar. Saya hanya datang membantu. Namun sehari sebelumnya, bapak sudah membuat bedeng untuk di taburi benih di atasnya. Dengan kayu seukuran tangan orang dewasa, bedeng ini dibuat agar terlihat rapi dan benih yang ditabur tidak lari terbawa air.
Di musim penghujan seperti sekarang ini, air begitu melimpah. Semua petak sawah digenangi air. Parit tidak ada yang kering. Sawah mulai dibajak. Benih mulai di taburi. Petani mulai sibuk. Suara traktor terdengar dimana-mana di seantero persawahan. Punggawa yang ditugaskan mengatur air di persawahan warga mulai tidak bisa tidur nyenyak. Handphonenya akan selalu sibuk berdering. Dia pengendali distribusi air ke sawah agar merata dan adil.
Syukur, sawah bapak mendapat suplai air lebih awal. Sehingga bisa mempersiapkan semuanya dengan cepat. Dan ini merupakan tahapan awal sebelum menanam. Menaburi benih, lalu menunggu puluhan hari ke depan, dicabut kembali, kemudian di tanam kembali. Pola pertanian ini memang masih konvensional. Masih dengan cara-cara yang tradisional. Tapi bapak percaya bahwa dengan begini hasilnya akan tetap melimpah. Tergantung benih, perawatan yang baik serta suplai air yang cukup maka hasil pertanian akan pasti menggembirakan.
Bapak memang sejak kecil sudah menjadi petani. Bahkan kami anak-anaknya bisa sekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi karena keringat bapak dari menjadi petani. Bapak tidak pernah mengeluh. Walau bersimbah peluh karena sabang hari selalu di sawah, dirinya adalah pahlawan di mata kami anak-anaknya. Begitu juga dengan ibu, yang selalu setia mendampingi suaminya hingga petang menjelang. Keduanya saling melengkapi dengan cinta nan abadi di umur yang sudah tak muda lagi.
Benih di taburi di atas tanah gembur. Di pilah sesuai jenisnya. Lalu di biarkan tumbuh mekar hingga mencapai di atas mata kaki. Beberapa minggu kemudian akan di beri pupuk agar bisa tumbuh dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Memanfaatkan air yang melimpah agar padi bisa tumbuh dengan baik sembari memperhatikan gulma yang kadang menganggu.
Tapi saya percaya, bapak punya caranya sendiri membunuh gulma dan kroni-kroninya. Saya sudah sejak lama, tidak pernah membuat bedeng, menabur benih, lalu menyalurkan air di pematang sawah.
"Harus bademu karawi ndake anae, ruku ngoa mu anak to toimu peare (Harus tau pekerjaan seperti ini anakku, agar kamu bisa sampaikan ke anak-anakmu nanti" Pesan ibu sembari bersimbah peluh di bawah terik matahari yang mulai menyengat.
Ibu memang tahu segalanya mengenai hal seperti ini. Pengalaman mengajarinya sabang tahun. Sementara kami anak-anaknya seolah abai dengan proses pertanian yang tampak setiap musim penghujan akan tetap di lakukan.