Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudut-sudut Kota Dompu

21 Oktober 2021   10:30 Diperbarui: 21 Oktober 2021   10:35 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalanan masih tampak sepi. Hanya beberapa kendaraan yang lalu lalang. Saya memang kepagian menikmati suasana kota ini. Denyutnya masih tidak terasa. Pelan tapi pasti. 

Berkendara sekira tiga puluh menitan dari selatan, saya baru sampai di jalanan kota Bumi Nggahi Rawi Pahu ini. Kota yang mulai bersolek dengan bangunannya yang mulai beranjak tinggi. Gedung pemerintahan juga tampak berbenah dan bahkan tidak sedikit yang tampil moderen.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Kota ini serupa gadis cantik yang sedang tampil modis. Berdandan. Sapuan lipstiknya menghampar di beberapa gedung pemerintahan dan pertokoan. Di trotoar jalan berdiri lapak-lapak yang menjajakan berbagai aneka kue dan makanan. Geliatnya mulai terasa setelah pukul delapan ke atas. 

Lalu lalang kendaraan mulai ramai. Beberapa pegawai yang berbaju keki tampak berkejaran dengan waktu. Mereka abdi negara yang mencoba sampai tepat waktu di tempatnya bekerja.

Insting jurnalis saya membuncah. Saya mulai memotret. Memotret beberapa sudut kota dengan beragam aktivitas warganya. Ada pegawai kantoran, warga yang berbelanja, penjual yang sibuk menjajakan jualannya, tukang parkir yang sedang sibuk mengatur kendaraan serta mereka yang memilih berkubang dengan suasana kota yang mulai melaju.

Sebagai orang yang pernah merantau dan berpijak di kota-kota metropolitan sekaliber Makassar dan Medan. Kota ini masih harus banyak belajar pada kota-kota yang sudah maju. Tata kotanya belumlah terarah jika di bandingkan kota yang di sebutkan di atas. 

Entah sebutan apa yang tepat untuk dialamatkan pada kota ini. Di sebut kota pendidikan, bukan. Dipromosikan sebagai kota industri juga belum tepat. Bahkan mengalamatkan sebagai kota pariwisata juga salah sasaran.

Atau mungkin saya terlalu berlebihan membandingkannya dengan kota provinsi. Tidak epel to epel. Mungkin sebuah kota tidak perlu di bandingkan dengan kota lain. Karena topografinya yang tidak sama. 

Tapi bukankah kota ada banyak kesamaannya, di samping perbedaannya. Ada buru kasar, ada pengemis, pusat pemerintahan, perbelanjaan, hotel serta lapak-lapak di trotoar jalan.

Warga yang mendiami sebuah kota, umumnya sangat homogen. Saya cukup sering bersua dengan mereka yang menjual bakso, martabak, serta cilok yang berasal dari pulau Lombok, Jawa, dan bahkan Sumatra. 

Kemarin misalnya, 18 Oktober 2021, di taman seberang jalan rumah sakit umum Dompu, saya menyapa penjual bakso yang berasal dari pulau Sumatra. Dia bahkan beridentitas di kota Dompu. Sekira belasan tahun dirinya meninggalkan kampung halamannya. Dia merasa nyaman serta bisa membuka usaha di kota ini. Dia membaur dengan warga lainnya.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Kemudian laju kuda besi merek Jupiter yang saya tunggangi beranjak. Saya kembali memotret. Kali ini patung surfing di perempatan jalan samping gedung dewan perwakilan rakyat daerah. 

Di lanjutkan dengan gedung nan megah Paruga Parenta Bumi Nggahi Rawi Pahu, dimana orang nomor satu di kabupaten ini merumuskan kebijakannya. Bahkan masjid Agung Baiturahman tidak luput dari kamera handphone saya, begitu pula deretan pertokoan yang mulai ramai dengan pengunjung.

Hari ini, 19 Oktober 2021, saya memang berniat memotret beberapa sudut kota. Pasalnya ada kenangan yang tersimpan di barisan gedung-gedung pertokoan dan sudut kota ini. Ada memori yang sabang hari bisa di kenang kembali. Ada cerita masa lalu yang sewaktu-waktu menghentak perasaan kala kala mengulas histori. 

Kota yang dulu di tinggali oleh para sultan dan keluarganya. Ia memimpin masyarakatnya di kota ini, hingga wafat di pulau seberang karena keberaniannya menentang penjajah. Ada jiwa kepahlawanan yang diwariskannya pada generasi. Di kota ini semua bermula.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Sebuah kota serupa adonan yang di buat sesuka hati. Ada masa dimana sebuah kota hanya sebagai pusat pemerintahan, tapi di waktu yang lain semuanya berbaur dengan segala kepentingan yang mengiringinya. Dulu di kota Dompu hanya di kenal pasar atas dan pasar bawah.

Pasar atas, umumnya representatif gedung pertokoan yang menjual aneka pakaian. Sementara pasar bawah dihuni oleh ibu-ibu yang berjejer menjajakan aneka lauk pauk, sandang pangan dan beberapa penjual pakaian dengan lapak-lapak.

Tapi saat ini, ada beberapa pertokoan yang lebih mewah dan megah. Tumbuh di beberapa titik. Kapitalisme merambah di berbagai sudut kota, hingga kelak memangsa pasar tradisional. Kini, masyarakat memiliki banyak pilihan, dari pada sekedar urusan yang di atas dan di bawah. 

Tidak perlu dipertentangkan antara keduanya. Keduanya saling berkelindang satu sama lain. Mempersoalkannya, urusannya bisa panjang, bahkan kiamat bisa lebih cepat dari yang di kehendaki tuhan.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Ketika matahari mulai meninggi, saya berpeluh keringat. Bahkan setelah berpuas diri dengan dokumentasi di sudut-sudut kota, saya mencoba menepi. Melepas pandang pada sekitar. Merenungi setiap jejak yang pernah di lewati. Memungut pelajaran pada setiap peristiwa yang menimpa.  Memaknainya sembari menguatkan pijakan sebelum bergegas meraih harapan di masa mendatang.

Pada kota ini saya menaruh pesan, kelak jika menjadi kota metropolitan, jangan lekas kenangan pada mereka yang bersimbah peluh demi sesuap nasi. Mereka yang  menghela nafas demi dapurnya tetap mengepul. Mereka yang meniup pluit di parkiran-parkiran tokoh. Bahkan pada mereka yang menyapu, membersihkan wajah kota kala sapuan mentari menyapa semesta.

Dalam perjalanan menyapa kota kali ini, cukup dokumentasi ini sebagai buah tangan untuk di bawa pulang. Adakah esok akan mengulang kisah yang sama? Entahlah. Hanya waktu yang berhak menentukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun