Kemudian laju kuda besi merek Jupiter yang saya tunggangi beranjak. Saya kembali memotret. Kali ini patung surfing di perempatan jalan samping gedung dewan perwakilan rakyat daerah.Â
Di lanjutkan dengan gedung nan megah Paruga Parenta Bumi Nggahi Rawi Pahu, dimana orang nomor satu di kabupaten ini merumuskan kebijakannya. Bahkan masjid Agung Baiturahman tidak luput dari kamera handphone saya, begitu pula deretan pertokoan yang mulai ramai dengan pengunjung.
Hari ini, 19 Oktober 2021, saya memang berniat memotret beberapa sudut kota. Pasalnya ada kenangan yang tersimpan di barisan gedung-gedung pertokoan dan sudut kota ini. Ada memori yang sabang hari bisa di kenang kembali. Ada cerita masa lalu yang sewaktu-waktu menghentak perasaan kala kala mengulas histori.Â
Kota yang dulu di tinggali oleh para sultan dan keluarganya. Ia memimpin masyarakatnya di kota ini, hingga wafat di pulau seberang karena keberaniannya menentang penjajah. Ada jiwa kepahlawanan yang diwariskannya pada generasi. Di kota ini semua bermula.
Sebuah kota serupa adonan yang di buat sesuka hati. Ada masa dimana sebuah kota hanya sebagai pusat pemerintahan, tapi di waktu yang lain semuanya berbaur dengan segala kepentingan yang mengiringinya. Dulu di kota Dompu hanya di kenal pasar atas dan pasar bawah.
Pasar atas, umumnya representatif gedung pertokoan yang menjual aneka pakaian. Sementara pasar bawah dihuni oleh ibu-ibu yang berjejer menjajakan aneka lauk pauk, sandang pangan dan beberapa penjual pakaian dengan lapak-lapak.
Tapi saat ini, ada beberapa pertokoan yang lebih mewah dan megah. Tumbuh di beberapa titik. Kapitalisme merambah di berbagai sudut kota, hingga kelak memangsa pasar tradisional. Kini, masyarakat memiliki banyak pilihan, dari pada sekedar urusan yang di atas dan di bawah.Â
Tidak perlu dipertentangkan antara keduanya. Keduanya saling berkelindang satu sama lain. Mempersoalkannya, urusannya bisa panjang, bahkan kiamat bisa lebih cepat dari yang di kehendaki tuhan.
Ketika matahari mulai meninggi, saya berpeluh keringat. Bahkan setelah berpuas diri dengan dokumentasi di sudut-sudut kota, saya mencoba menepi. Melepas pandang pada sekitar. Merenungi setiap jejak yang pernah di lewati. Memungut pelajaran pada setiap peristiwa yang menimpa. Â Memaknainya sembari menguatkan pijakan sebelum bergegas meraih harapan di masa mendatang.
Pada kota ini saya menaruh pesan, kelak jika menjadi kota metropolitan, jangan lekas kenangan pada mereka yang bersimbah peluh demi sesuap nasi. Mereka yang  menghela nafas demi dapurnya tetap mengepul. Mereka yang meniup pluit di parkiran-parkiran tokoh. Bahkan pada mereka yang menyapu, membersihkan wajah kota kala sapuan mentari menyapa semesta.
Dalam perjalanan menyapa kota kali ini, cukup dokumentasi ini sebagai buah tangan untuk di bawa pulang. Adakah esok akan mengulang kisah yang sama? Entahlah. Hanya waktu yang berhak menentukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H