MASIH segar diingatan kita, banjir yang melulu lantahkan puluhan rumah di desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, 28 Februari dan 09 Maret 2021. Belum lama. Dampak akibat banjir tersebut tidak hanya materi, tapi juga menyisakan traumatik bagi warga setempat.
Bantuan akibat banjir tersebut mengalir hingga kini. Rumah di bangun oleh pemerintah, diperuntukan bagi korban banjir. Memang belum clear 100%. Belum bisa ditempati. Sepanjang aliran sungai sudah disemen dan dipasang bronjol penahan air. Hal ini patut di apreasiasi. Ini membuktikan perhatian pemerintah terhadap korban banjir patut diacungi jempol. Walaupun tanggul yang dipasang akan kembali diuji oleh datangnya banjir tahun ini.
Kenapa begitu yakin banjir datang lagi? Tidak berharap. Tapi mungkinkah banjir datang bukan karena penggundulan hutan? Mungkin ada yang bilang tidak. Tapi sebagian pihak pasti akan mengatakan dengan tegas, bahwa banjir beberapa bulan yang lalu bisa jadi karena penggundulan hutan di gunung sebelah timur Desa Daha. Tidak hanya desa Daha, tapi juga beberapa desa tetangga juga mengalami nasib yang serupa.
Hamparan pepohonan yang menjadi rumah bagi hewan dan madu, kini telah  berubah menjadi ladang jagung. Menurut sebagian pihak, bahwa banjir bandang yang menerjang tempo hari, merupakan pertama kali sejak desa ini berdiri ratusan tahun silam. Sulit untuk menyangkal, bahwa banjir datang bukan karena gundulnya gunung. Bagaimana mungkin air bisa diserap oleh akar, sementara pohon sudah dibabat.
Pagi tadi, saya menghela nafas panjang, ketika mendapat kiriman foto dari seorang kawan lewat kanal WA. Beberapa foto memperlihatkan dirinya dengan latar gunung yang sisa pembakaran untuk kepentingan perladangan. Di caption FB-Nya ia menulis "Salam lestari salam ngoho kampoi doro, nikmat sesaat yang mendatang bencana".
Sinta begitu dirinya biasa di sapa. Umurnya masih 22 tahun. Ia seorang travels. Hiking adalah hobinya. Gunung Rinjani dan Gunung Tambora adalah sedikit gunung yang pernah disapanya. Ketika melihat gunung di kampung halamannya gundul. Nampaknya ia merasa gahar. Dari captionnya terlihat betul 'kemarahannya' pada tangan-tangan yang tidak  bertanggungjawab. Bagaimana bisa gunung yang dulu hijau. Lestari. Kini tinggal kenangan. Tangan pemerintah lewat kebijakannya seolah hanya berhenti lewat secarik kertas yang ditumpuk di meja rapat.
Sebagian pihak hanya bisa menyalahkan. Mengutuk jika bencana itu datang menerjang. Tangan-tangan kekuasaan seolah tidak mampu menggapai untuk menghentikan perladangan ini. Ini bukan masalah  remeh remeh. Ini persoalan serius. Kalau dipandang serius, lalu kenapa dibiarkan ada pihak-pihak yang masih dengan leluasa membuka ladang.
Dokumentasi yang diperlihatkan oleh Sinta dan kawan-kawannya tanggal 09 September 2021 kemarin itu, menunjukan perladangan itu memang benar terjadi adanya. Sementara musim hujan mulai kembali membasahi tanah beberapa hari belakangan ini. Jika intensitas hujan semakin massif, bukan tidak mungkin banjir bandang akan menerjang lagi. Kita tidak sedang berharap, tapi tidak tutup kemungkinan peristiwa beberapa bulan yang lalu akan terjadi lagi.
Mestinya hulunya yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Jika penggundulan hutan bisa dihentikan, maka minimal ini langkah baik untuk menjaga hutan dan meminimalisir datangnya banjir.
Di sini, kita hanya bisa berharap. Walaupun berharap tidak cukup. Semua pihak mestinya harus segera bersinergi untuk menjaga hutan kita. Menjaga alam, agar tetap lestari dan semesta kembali tersenyum. Burung-burung riang menyambut pagi. Kabut memanja di atas pepohonan. Embun seolah nyenyak di dedaunan. Sapuan mentari menghangatkan pagi. Semua kembali  beraktivitas. Dan dunia damai kala manusia dan alam menyatu menjaga satu sama lain.
Itu bisa terwujud jika ketamakan, keserakahan tidak menghinggapi segelintir manusia. Betul?