Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mari Menanam, Demi Generasi dan Hijaunya Semesta

11 Agustus 2021   07:54 Diperbarui: 11 Agustus 2021   08:02 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KENDARAAN roda empat yang membawa kami melaju pelan ketika bersisian dengan kendaraan lain di kota Bima. Sempat terhenti karena lampu merah. Tapi kembali melaju karena tujuan. Kendaraan terlihat ramai di sore hari. Di kiri-kanan jalan terlihat gedung megah menantang langit. Orang-orang terlihat sibuk dengan segala kepentingannya.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Menurut sejarah, kota ini memiliki kisah panjang hingga memasuki era modernisasi seperti sekarang ini. Beberapa fase di lewatinya dengan sabar; mulai zaman Hindu Budha, era penyebaran Islam, zaman kolonial, zaman kemerdekaan, hingga era reformasi dan sekarang ini. Era modern. Terlihat beragam bangunan seakan tak menyisakan sejengkal tanah demi mengejar label kota metropolitan. Kota ini terus bersolek.

Perjalanan kami kali ini, bukan sedang berwisata untuk menyaksikan kembali warisan masa lalu kota di bagian timur pulau Sumbawa ini. Kami datang berkunjung untuk mengambil bibit pohon yang tersebar di beberapa titik kota. 

Seorang kawan menuntun kami menuju tempat pembibitan berbagai jenis pohon yang dirawatnya sejak lama bersama kawan-kawannya. Ia tidak saja memperlihatkan hasil kerja kerasnya, tetapi memberi kami puluhan bibit pohon tersebut untuk di tanam di beberapa lokasi di selatan kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Setelah menembus keramaian kota dengan segala dinamikanya. Kami pun menuju satu gang kecil yang cukup di lewati satu mobil dan sedikit celah untuk roda dua. 

Di satu kos-kosan, kami diperlihatkan hamparan jenis bibit pohon yang tingginya masih selutut. Puluhan bibit pohon masih terawat dengan cukup baik, walaupun beberapa sudah layu merona karena cuaca. Sejenak kami berbincang, sebelum diangkut ke mobil.

Tidak perlu hitungan jam, puluhan bibit pohon ini berhasil diangkut. Kawan-kawan ini berkisah tentang bagaimana mereka merawat puluhan bibit pohon ini dengan minimnya kesadaran masyarakat menjaga alam. Bahkan menurut salah seorang di antara mereka, untuk tanah saja terpaksa mereka membelinya dengan karung-karung kecil dengan merogok kantong sendiri.

Dokpri. Mengangkut bibit pohon
Dokpri. Mengangkut bibit pohon
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Mereka menyukai tanaman, hingga beragam ide mereka terapkan untuk menjaga dan merawat puluhan bibit pohon ini agar tetap hidup dan kelihatan segar dalam menatap hari. Terlebih mereka memanfaatkan air yang terbatas untuk menyiram bibit-bibit pohon ini. Bahkan halaman kos yang tidak seberapa lebar dimanfaatkannya untuk proses pembibitan.

Mendengar itu, saya mengangumi kerja keras dan ikhlas kawan-kawan ini. Untuk mendapatkan bibit, mereka memiliki hubungan baik dengan beberapa instansi di kota maupun kabupaten, walaupun dalam proses merawatnya, mereka urus sendiri sebelum di tanam.  

Hari semakin sore. Kami pun bergegas. Untuk ratusan bibit pohon yang kami angkut hanya membayar secukupnya kepada kawan-kawan ini sebagai bentuk terimakasih atas niat baiknya. Pada mereka kami menaruh hormat. Di tengah persoalan hutan dan gunung yang setiap jengkalnya di babat oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab, ternyata masih ada sekelompok pemuda yang memiliki kepedulian terhadap alam.

Ketika pemuda seusia mereka gagahan dengan motor baru sambil membonceng cewek pujaannya, malah kawan-kawan ini berlumpur dengan tanah lalu menanam bibit pohon ini di beberapa tempat di kota Bima. Mereka seolah menepikan segala ocehan orang karena seorang berpendidikan tinggi seperti mereka tetap mau mengurus bibit-bibit pohon di tengah padatnya bangunan kota.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Mereka tidak harus berkampanye ala politisi yang sebagian di antaranya mulutnya bau comberan dan seolah telah berbuat sesuatu untuk menjaga alam dan gunung yang semakin hari semakin memprihatinkan. Mereka juga tidak perlu tampil di tv lalu berkisah tentang usahanya merawat puluhan bibit pohon, lalu menanamnya untuk menyelamatkan hutan di kotanya.

Mereka adalah anak-anak muda hebat yang bekerja dengan hati. Tanpa di sorot media nasional, tanpa di beri penghargaan ala pemain bulu tangkis oleh pemerintah. Bahkan tanpa di akui masyarakat dunia pun, mereka tetap konsisten menjaga, merawat dan menanam ratusan bahkan jutaan pohon untuk semesta.

Mereka generasi yang sunyi dari pemberitaan media nasional atas apa yang mereka lakukan. Tapi alam mengucapkan terimakasih dengan gerakan mulia yang mereka torehkan. Bahkan dalam perjalanan menuju destinasi wisata 'Jurang Jiwa' yang mereka kelola, salah seorang berkisah bahwa suatu hari ingin memuat gerakan penghijauan yang mereka lakukan di muat di media online. Tujuannya, selain ingin memotivasi publik, juga mungkin bisa mendapat perhatian para pengambil kebijakan. Tapi karena kurangnya modal untuk membayar media, akhirnya niat tersebut terpaksa diurungkan.

Mendengar itu, seolah saya kehabisan kalimat untuk menyampaikan sesuatu. Saya ikut termotivasi. Ada semangat yang serupa bensin yang di sulut api. Membara lalu melangit. Semangatnya minimal bibit pohon yang kami bawa ini nantinya akan di tanam di kampung halaman. Semoga kami mampu menjaga dan merawatnya agar gunung bisa kembali hijau dan asri di pandang. Agar generasi kelak bisa ikut menikmatinya. Bukankah tuhan menganjurkan agar kita bisa memberi manfaat pada sesama.

Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dokpri. Suradin
Dalam perjalanan pulang, selain membawa bibit pohon. Saya membawa pula kisah inspirasi dari kawan-kawan hebat di kota Bima. Mereka seolah menghamparkan bibit harapan bahwa tidak harus menunggu esok untuk berbuat sesuatu. Tidak perlu menunggu janji para politisi lima tahun sekali untuk  memberi manfaat pada sesama dan alam. Bukankah orang bijak mengatakan bahwa, kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi.

Saya teringat pesan seorang guru ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Menurutnya, semua orang bisa dijadikan guru dan setiap tempat bisa dianggap sekolah. Kita tidak hanya belajar pada orang-orang yang berada di lembaga formal. Pada tukang becak, pada tukang sapu dan bahkan kepada maling pun kita bisa belajar. 

Karena maling ketika ingin melakukan aksinya dan melihat pintu rumah orang sedang tertutup di depan, maka ia akan mencari pintu lain yang bisa di buka. Artinya, ketika satu pintu pengharapan tertutup rapat, maka masih ada pintu lain yang bisa memberi harapan.

Pada anak-anak muda hebat ini, saya sedang belajar tentang komitmen, konsisten serta kesabaran tingkat dewa dalam merawat bibit pohon demi alam yang mereka pijak. Pada mereka saya mengucapkan terimakasih, karena telah menghamparkan kisah hebat untuk negeri. 

Dan saya yakin, ada puluhan kelompok pemuda di penjuru negeri ini yang berbuat yang sama, tapi sepi dari pemberitaan. Sepi pula dari perhatian para pengambil kebijakan. Mereka berbuat dalam kesunyian dan berdamai dengan semesta. Pada mereka, saya melangitkan doa, semoga sehat selalu demi alam dan negeri yang kita cintai ini. Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun