Mereka adalah anak-anak muda hebat yang bekerja dengan hati. Tanpa di sorot media nasional, tanpa di beri penghargaan ala pemain bulu tangkis oleh pemerintah. Bahkan tanpa di akui masyarakat dunia pun, mereka tetap konsisten menjaga, merawat dan menanam ratusan bahkan jutaan pohon untuk semesta.
Mereka generasi yang sunyi dari pemberitaan media nasional atas apa yang mereka lakukan. Tapi alam mengucapkan terimakasih dengan gerakan mulia yang mereka torehkan. Bahkan dalam perjalanan menuju destinasi wisata 'Jurang Jiwa' yang mereka kelola, salah seorang berkisah bahwa suatu hari ingin memuat gerakan penghijauan yang mereka lakukan di muat di media online. Tujuannya, selain ingin memotivasi publik, juga mungkin bisa mendapat perhatian para pengambil kebijakan. Tapi karena kurangnya modal untuk membayar media, akhirnya niat tersebut terpaksa diurungkan.
Mendengar itu, seolah saya kehabisan kalimat untuk menyampaikan sesuatu. Saya ikut termotivasi. Ada semangat yang serupa bensin yang di sulut api. Membara lalu melangit. Semangatnya minimal bibit pohon yang kami bawa ini nantinya akan di tanam di kampung halaman. Semoga kami mampu menjaga dan merawatnya agar gunung bisa kembali hijau dan asri di pandang. Agar generasi kelak bisa ikut menikmatinya. Bukankah tuhan menganjurkan agar kita bisa memberi manfaat pada sesama.
Dalam perjalanan pulang, selain membawa bibit pohon. Saya membawa pula kisah inspirasi dari kawan-kawan hebat di kota Bima. Mereka seolah menghamparkan bibit harapan bahwa tidak harus menunggu esok untuk berbuat sesuatu. Tidak perlu menunggu janji para politisi lima tahun sekali untuk  memberi manfaat pada sesama dan alam. Bukankah orang bijak mengatakan bahwa, kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi.
Saya teringat pesan seorang guru ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Menurutnya, semua orang bisa dijadikan guru dan setiap tempat bisa dianggap sekolah. Kita tidak hanya belajar pada orang-orang yang berada di lembaga formal. Pada tukang becak, pada tukang sapu dan bahkan kepada maling pun kita bisa belajar.Â
Karena maling ketika ingin melakukan aksinya dan melihat pintu rumah orang sedang tertutup di depan, maka ia akan mencari pintu lain yang bisa di buka. Artinya, ketika satu pintu pengharapan tertutup rapat, maka masih ada pintu lain yang bisa memberi harapan.
Pada anak-anak muda hebat ini, saya sedang belajar tentang komitmen, konsisten serta kesabaran tingkat dewa dalam merawat bibit pohon demi alam yang mereka pijak. Pada mereka saya mengucapkan terimakasih, karena telah menghamparkan kisah hebat untuk negeri.Â
Dan saya yakin, ada puluhan kelompok pemuda di penjuru negeri ini yang berbuat yang sama, tapi sepi dari pemberitaan. Sepi pula dari perhatian para pengambil kebijakan. Mereka berbuat dalam kesunyian dan berdamai dengan semesta. Pada mereka, saya melangitkan doa, semoga sehat selalu demi alam dan negeri yang kita cintai ini. Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H