Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyelam Makna pada Denyut Tradisi yang Masih Bertahan

12 Juni 2021   06:16 Diperbarui: 12 Juni 2021   06:34 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SETELAH usai melaksanakan sholat Jumat di Masjid Miftahul Jannah desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat pukul 13.30. Saya bersama pak Jeff diundang oleh warga untuk menghadiri acara doa di desa tetangga. Tanpa pikir panjang kami mengiyakan.

Dengan kuda besi merek jupiter, kami membelah jalan lintas Lakey. Terik matahari menyengat. Lalu lintas kendaraan masih cukup lengang, tetapi kami tetap hati-hati ketika masuk perkampungan. Pantulan sinar matahari di aspal sedikit mengganggu jarak pandang saat membawa motor. Tapi hal itu tidak sepenuhnya menghalangi perjalanan kami kali ini.

Sesampai  di tempat tujuan, kami memarkirkan kendaraan di seberang jalan. Turun dari motor dan melepas pandang, ternyata tamu undangan sudah memenuhi tempat acara. Semuanya melantai. Mereka terlihat duduk bersila di pinggir tikar yang sudah dihamparkan. Semuanya laki-laki.

Dokpri. Suasana acara
Dokpri. Suasana acara
Kami sebenarnya belumlah terlambat, karena masih ada beberapa para tamu undangan yang lain ikut menyusul. Setelah masuk, kami dipersilakan mengambil posisi yang masih kosong. 

Beberapa terlihat mengisap rokok kretek dengan asap mengepul, membumbung tinggi di langit-langit rumah. Beberapa saja yang berusia muda. Termasuk saya. Mayoritas adalah tokoh agama dan di antaranya sudah sesepuh.

Sesaat kemudian datanglah dua orang membawa nasi dengan mangkok besar, lalu menyimpannya di depan tempat kami duduk. Kemudian di susul dengan beberapa mangkok yang lain yang berisi daging ayam yang siap di santap. Tanpa komando, bergantian kami mengambil dan memasukannya ke dalam piring masing-masing. Menyantapnya dengan lahap. Penuh khidmat.

Dokpri. Tetua kampung 
Dokpri. Tetua kampung 
Dokpri. 
Dokpri. 
Usai makan nasi, beberapa potongan roti dan semangka disajikan di hadapan kami. Sambil bercerita beberapa orang mengisap rokok kretek. Asapnya membuat saya sedikit tak nyaman. Saya putuskan bergeser, agar tidak terjerembab dalam lautan asap. Pasalnya, saya nampaknya satu-satunya yang tidak merokok. Maklum, nimbrung dengan orang-orang tua harus siap dengan asupan asap rokok yang menyesakkan dada.

Sejurus kemudian, salah seorang tokoh masyarakat bernama Ridwan Yasin memimpin doa yang diikuti oleh beberapa yang lain. Suaranya seirama. Lantunannya menyentuh relung kalbu. Bacaan alqurannya sangat berbeda dengan yang saya saksikan di layar tivi. Terlihat Alquran, sudah berwarna kuning kecoklatan. Disimpannya di atas bantal. Saya hanya mendengarkan sembari memperhatikan bacaan yang penuh penghayatan dari beberapa orang tua di samping saya. Diam. Hanya itu yang bisa saya lakukan.

Dokpri. Tetua kampung sedang memimpin doa
Dokpri. Tetua kampung sedang memimpin doa
Usai bacaan alquran secara berjamaah, saya baru menyadari bahwa acara ini digelar dalam rangka pemotongan rambut seorang bayi, setelah saya melihat seorang bapak datang membopong anaknya, lalu tetua kampung yang bergelar haji mengambil gunting dan memotong rambut anak itu dengan sentuhan lembut. 

Gunting yang digunakannya terlebih dahulu dicelupkan di air dalam wadah yang sudah disiapkan sebelumnya. Sementara salah seorang mendekatkan kelapa yang sudah dipotong kepalanya. Rambut anak itu terlihat dipotong di beberapa bagian dan disimpan dalam satu wadah.

Dokpri. Menggunting rambut bayi
Dokpri. Menggunting rambut bayi
Dokpri. 
Dokpri. 
Setelah itu, anak itu dibawah keliling jamaah lalu diusap kepalanya oleh beberapa tokoh agama dan tetua kampung yang hadir dengan rapalan doa. Hal ini bertujuan agar kelak anak itu bisa menjadi anak yang sukses dan berguna bagi agama dan masyarakat.

Dokpri. Bayi dibawah keliling 
Dokpri. Bayi dibawah keliling 
Dokpri. 
Dokpri. 
Dokpri. 
Dokpri. 
Namun tiba-tiba saya kaget ketika beberapa orang bergerak mengambil buah kelapa, tebu, buah pinang dan pisang yang digantung di salah satu tiang. Mereka berebutan mengambilnya, membuat suasana menjadi ramai dan seru di pandang. Mereka berhimpitan meraihnya sambil beradu kecepatan. Bahkan pisang yang jatuh pun diperebutkan. Semua menyatu dalam tawa dan keseruan dalam suasana penuh kekeluargaan.

Dokpri. 
Dokpri. 
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri
"Ini ada maksudnya dari sudut pandang orang tua, agar anak ini nanti bisa seperti kelapa maksudnya bisa tumbuh kembang dan lewat acara ini anak ini diperkenalkan Islam kepadanya" Ujar Ridwan Yasin setelah selesai acara.

Dokpri. Dapat kelapa
Dokpri. Dapat kelapa
Dokpri. 
Dokpri. 
Sebelum bubar, semua yang hadir dihadiahi dengan dua bungkus bingkisan untuk di bawah pulang. Dan itu dibagi rata kepada tamu undangan oleh yang punya hajatan. Semua membaur seperti satu keluarga besar. Sebab, yang hadir meliputi beberapa kampung, mulai dari desa Rasabou, Daha, Tenga, Madawa dan juga Nanga Sia.

Dokpri. Jeff
Dokpri. Jeff
Satu tradisi yang patut disyukuri masih bertahan hingga kini. Dengan arus zaman yang begitu kencang dimana generasi mulai kehilangan pondasi karena pengaruh teknologi, dan tetua kampung masih merawat warisan ini dengan begitu baik. Mereka tidak hanya fasih membacakan ayat alquran dengan cara yang unik, tapi penghayatannya melalui bacaan itu membuat saya berdecak kagum.

Saya hanya memendam tanya, apakah acara gunting rambut bayi dengan cara seperti ini masih akan terus bertahan di masa mendatang. Saya tidak benar-benar yakin. 

Jangankan merapalkan doa, menghadiri acara seperti ini saja masih di dominasi kalangan orang tua. Nampaknya acara acara seperti ini tidaklah begitu menarik bagi generasi muda. Sementara pada merekalah diharapkan tradisi ini diwariskan.

Tiba-tiba saya teringat pesan kawan di zaman bermahasiswa dulu. Menurutnya, setiap generasi ada zamannya sendiri, dan setiap zaman ada generasinya sendiri. Saya yakin seorang kawan itu menyadut kalimat, setiap  masa ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada masanya.

Entahlah, tapi saya sedikit yakin bahwa tradisi sangat bergantung pada masyarakat pendukungnya. Saya terus memendam tanya dalam hati sembari melajukan roda dua yang saya kendarai.  Lalu saya teringat, sejauh burung terbang pasti suatu saat akan kembali ke sarangnya. Begitu pun saya, akhirnya kembali ke rumah dan melepas lelah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun