Namun tiba-tiba saya kaget ketika beberapa orang bergerak mengambil buah kelapa, tebu, buah pinang dan pisang yang digantung di salah satu tiang. Mereka berebutan mengambilnya, membuat suasana menjadi ramai dan seru di pandang. Mereka berhimpitan meraihnya sambil beradu kecepatan. Bahkan pisang yang jatuh pun diperebutkan. Semua menyatu dalam tawa dan keseruan dalam suasana penuh kekeluargaan.
"Ini ada maksudnya dari sudut pandang orang tua, agar anak ini nanti bisa seperti kelapa maksudnya bisa tumbuh kembang dan lewat acara ini anak ini diperkenalkan Islam kepadanya" Ujar Ridwan Yasin setelah selesai acara.
Sebelum bubar, semua yang hadir dihadiahi dengan dua bungkus bingkisan untuk di bawah pulang. Dan itu dibagi rata kepada tamu undangan oleh yang punya hajatan. Semua membaur seperti satu keluarga besar. Sebab, yang hadir meliputi beberapa kampung, mulai dari desa Rasabou, Daha, Tenga, Madawa dan juga Nanga Sia.
Satu tradisi yang patut disyukuri masih bertahan hingga kini. Dengan arus zaman yang begitu kencang dimana generasi mulai kehilangan pondasi karena pengaruh teknologi, dan tetua kampung masih merawat warisan ini dengan begitu baik. Mereka tidak hanya fasih membacakan ayat alquran dengan cara yang unik, tapi penghayatannya melalui bacaan itu membuat saya berdecak kagum.
Saya hanya memendam tanya, apakah acara gunting rambut bayi dengan cara seperti ini masih akan terus bertahan di masa mendatang. Saya tidak benar-benar yakin.Â
Jangankan merapalkan doa, menghadiri acara seperti ini saja masih di dominasi kalangan orang tua. Nampaknya acara acara seperti ini tidaklah begitu menarik bagi generasi muda. Sementara pada merekalah diharapkan tradisi ini diwariskan.
Tiba-tiba saya teringat pesan kawan di zaman bermahasiswa dulu. Menurutnya, setiap generasi ada zamannya sendiri, dan setiap zaman ada generasinya sendiri. Saya yakin seorang kawan itu menyadut kalimat, setiap  masa ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada masanya.
Entahlah, tapi saya sedikit yakin bahwa tradisi sangat bergantung pada masyarakat pendukungnya. Saya terus memendam tanya dalam hati sembari melajukan roda dua yang saya kendarai. Â Lalu saya teringat, sejauh burung terbang pasti suatu saat akan kembali ke sarangnya. Begitu pun saya, akhirnya kembali ke rumah dan melepas lelah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H