Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Perjalanan ke Kota Bima yang Penuh Kenangan

2 Juni 2021   20:35 Diperbarui: 2 Juni 2021   20:45 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Sedang di kantor BPJS Let. Kota Bima, 

SUATU hari,  di tanggal 19 Mei 2021 saya dan ketiga orang sahabat melakukan perjalanan ke kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Perjalanan kali ini bertujuan membeli peralatan mesin chainsaw sembari menyambangi beberapa kantor yang berkenaan dengan pekerjaan kami. 

Dari selatan kabupaten Dompu tempat dimana kami mengenal dunia, kami menempuh perjalanan dengan jarak tempuh kurang lebih tiga jam untuk sampai di kota Bima.

Jangan ditanya bagaimana pemandangan yang kami lewati. Dengan mobil Inova yang kacanya sengaja diturunkan, saya bisa melihat bentangan persawahan, perumahan warga yang berjejer, sungai memanjang jauh, dan pasar Sila di kabupaten Bima yang ramai. Teluk Bima yang tenang dengan ombak yang melambai melengkapi pemandangan perjalanan kali ini.

Dokpri. Lagi di Jalan Kota Bima
Dokpri. Lagi di Jalan Kota Bima
Di kota Bima, saya pernah menyulam kisah. Tahun 2005 silam, saya pernah tinggal dalam upaya menuntun ilmu di kota ini. Walau hanya setahun, tapi saya sedikit banyak mengenal dinamika dan interaksi dengan beberapa warga kota. 

Ketika pagi menyapa, saya biasanya menyambangi kuburan Raja di atas bukit dekat terminal di pinggir kota. Sangat ramai, apa lagi di akhir pekan. 

Warga biasanya menghabiskan waktu untuk melihat Kota Bima dari atas bukit. Pemandangannya sangat memanjakan bagi setiap pengunjung. 

Dan saya salah satu yang pernah merasakan panorama alam kota yang penuh historis ini. Dari ujung ke ujung terlihat sangat jelas, begitu juga dengan lalu lalang perahu dan kapal yang bersandar di pelabuhan. Terlebih di sore hari kala senja temaram menyapa semesta.

Kota Bima merupakan salah satu kota pelabuhan di tanah air yang masih setia merawat masa lalunya. Bangunan-bangunan serta rekam jejak di masa silam masih cukup terawat dengan baik. Mulai dari kuburan Raja, rumah tradisional, hingga istana Kesultanan (ASI Bima) masih terawat hingga kini. Dan saya merasa beruntung karena pernah menjejaki semua tempat tersebut. Ada kenangan yang pernah disulam.

Dokpri. 
Dokpri. 
Dan ketika ada rencana ke kota Bima, saya begitu antusias. Saya seolah kembali melihat serpihan masa lalu yang pernah saya lukis di kota ini. Kota dimana kenangan itu pernah ditautkan dengan ragam kisah. 

Melihat denyut warga kota dengan ragam aktivitasnya. Gedung-gedung bertingkat terlihat angkuh dengan segala kemegahannya. Seperti kisahnya, kota ini telah lama menjadi magnet bagi para pedagang dari luar pulau yang membangun kerajaan bisnisnya. 

Berjejer toko dengan ragam barang jualannya menghiasi pinggir jalan Kota. Tidak sedikit yang membangun bisnis di Kota Bima adalah pendatang dan warga keturunan. Ada warga Tionghoa, Arab, Jawa, Sumatra, Sulawesi dan Melayu.

Tidak perlu heran, karena kota ini adalah kota dagang yang sudah lama membangun interaksi dengan orang luar dengan cukup baik, termasuk orang Melayu. Ketika mobil kami memasuki  pintu gerbang kota, terlihat jelas lalu lintas kendaraan yang memenuhi ruas jalan.

Tulisan "Maja Labo Dahu" yang terbaca jelas di atas papan masuk kota mengingatkan saya akan pesan ibu ketika merantau dulu. 

"Maja Labo Dahu" adalah pesan moril yang setiap perantau atau yang meninggalkan rumah dalam suatu perjalanan akan terucap dari orang tua atau tetua kampung. 

Kalimat ini mengingatkan agar malu ketika berbuat salah dan takut ketika tidak berbuat yang benar. Paling tidak demikian penafsiran hemat saya. 

Kalimat ini tidak hanya berlaku bagi orang Bima, tapi juga sering terucap pada masyarakat Dompu. Sebab, orang Bima dan Dompu adalah bersaudara, baik secara historis terlebih budayanya.

Dokpri. 
Dokpri. 
Setelah melewati dipertigaan jalan Kota, mobil kami terhenti. Bang Syarif, salah seorang di antara kami memasuki toko setelah turun dari mobil. Tidak lama kemudian saya pun ikut turun. 

Di dalam toko, pandangan saya menyambar barang-barang yang di pajang di rak pinggir tembok. Terlihat di ujung meja seorang ibu yang sedang menulis. 

Di sampingnya ada banyak nota yang ditancapkan pada satu batang besi di atas meja. Matanya sipit, kulitnya putih. Sesekali ia memberi perintah kepada karyawannya dengan bahasa daerah yang logatnya mirip Jack Chan. Ia terlihat serius, seolah senyum terlalu mahal untuk siapa pun yang menyambanginya.

Seorang karyawan membawa barang yang kami pesan. Dia simpan di atas meja. Setelah kesepakatan harga, tangannya begitu lincah di atas kalkulator. Dia sodorkan nota. 

Setelah melihat sepintas, saya ulurkan beberapa lembar uang kertas berwarna biru. Ibu itu datang mengambil uang setelah menyesuaikan harga barang dengan nota dan menghitungnya kembali di kalkulator. Apakah dia tidak percaya sama karyawannya? Entahlah. 

Saya tidak ingin menghabiskan waktunya untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Atau jangan-jangan itu bisa membuatnya naik pitam. Nampaknya ia hanya berpikir bisnis. Uang. 

Sudahlah, tapi saya hanya membawa keyakinan setelah keluar dari tokonya, bahwa ibu itu bukan lokal. Tapi saya perlu belajar padanya jika ingin sukses seperti dirinya.

Dokpri. 
Dokpri. 
Dokpri. 
Dokpri. 
Perjalanan kembali kami lanjutkan. Kali ini menyambangi sebuah instansi. Di situ kami dilayani dengan senyum merekah. Walau harus menunggu beberapa menit, tapi urusan kami di mudahkan. Cukup menggembirakan walau kami harus menempuh perjalanan yang cukup jauh.

Kami pun mengelilingi kota, duduk santai di kedai kopi, menikmati munajat kepada ilahi di mesjid besar kota, menyantap makanan di warung yang menyajikan menu tradisional. Sungguh perjalanan yang berkesan, setelah lama tidak berkunjung ke kota Bima.

Dokpri. Di kantor BPJS Ketenagakerjaan
Dokpri. Di kantor BPJS Ketenagakerjaan
Sebelum matahari terbenam di ufuk barat, kami pun memutuskan untuk kembali. Biarkan kisah ini menjadi perbendaharaan pengalaman kami dengan kota ini. 

Kota yang terus berbenah dengan polesan modernnya. Semoga saja warga kotanya merasakan dampak yang baik atas perubahan yang terjadi. Kemiskinan berkurang.  Kesejahteraannya berbanding lurus dengan janji para pemangku kebijakan yang memegang kendali aturan kota.

Dalam laju mobil yang menjauh dari jalanan kota dan mega-mega yang memancar di ujung hari, kami hanya memendam harap, semoga saja waktu masih menyisakan kesempatan bagi kami untuk kembali ke kota Bima. Agar kelak kami bisa bercerita pada semesta, bahwa kami pernah di sini dan menjadi saksi bagi perkembangan kota di ujung timur pulau Sumbawa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun