Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Merawat Persahabatan dengan Jalan Silaturahmi

20 November 2020   22:46 Diperbarui: 20 November 2020   23:07 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Bersama Bang Reza di kediamannya, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 

LANGIT sore kota Mataram tidak secerah biasanya ketika roda dua yang saya kendarai membelah jalanan kota. Sapuan mentari sore bukan enggang menyapa semesta. Awan tebal yang egois tak bersedia bergeser untuk memberi celah pada mentari sore agar bisa menyapa semesta. Sedangkan beberapa jam ke depan malam masih setia menunggu berakhirnya hari.

Di perbatasan kota, saya melaju cukup pelan. Luasnya persawahan dengan tanaman padi yang menghijau menyambut saya di Labu Api, Lombok Barat, Jumat, 20 November 2020.

Angin sepoi sesekali menyapa.Siul burung yang hinggap di ranting pematang sawah menambah ademnya perjalanan. Rindangnya pepohonan yang berdiri angkuh di pinggir jalan melengkapi keindahan yang semesta suguhkan di sore ini.

Dokpri
Dokpri
Saya sedang mengunjungi kediaman seorang sahabat lama, setelah janjian satu hari sebelumnya. Di sore ini, dirinya memberi kabar bahwa memiliki waktu luang untuk berbincang dengan saya di kediamannya. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berjumpa denganNya. 

Pasalnya, selain karena di sibukkan dengan menemani putri pertamanya, ia juga seorang dosen di salah satu kampus swasta di kota Mataram. Bisa dibayangkan bagaimana dia harus mengatur waktunya yang begitu padat.

Dokpri. Ketika Wisuda di Pasca  Sarjana Universitas Negeri Makassar, 2017
Dokpri. Ketika Wisuda di Pasca  Sarjana Universitas Negeri Makassar, 2017

Dia punya banyak panggilan. Ada yang memanggilnya Isnaini, Bung Is, dan bahkan ada pula yang menyapanya dengan sebutan bang Reza. Semua panggilan itu tidak pernah dirinya keberatan. Apa lagi protes hingga bakar ban di jalan dengan mega phone di tangan.

Saya tidak pernah melihat dirinya marah hanya karena tidak dipanggil lengkap dengan gelar akademiknya. Walaupun sudah bersahabat lama, saya bahkan tidak pernah bertanya mengapa dirinya punya banyak panggilan seperti itu.

Bahkan hingga sekarang, dirinya masih cukup nyaman dengan semua panggilan tersebut. Saya sering berdiskusi dengannya di banyak kesempatan. Tapi sudah lama tidak kami lakukan lagi.

Kami sudah lama tidak duduk berdiskusi sambil menyeruput kopi. Sejak masing-masing di antara kami memutuskan berkeluarga beberapa tahun yang lalu. Dan sejak saat itu, cukup berpengaruh dengan intensitas pertemuan yang biasa kami sering agendakan.

Sangat berbeda ketika masih berstatus bujang beberapa tahun silam. Bahkan cukup sering kami menghabiskan malam hanya karena duduk berdiskusi dengan beragam topik. Tapi kini, situasinya sudah berbeda. Kendati demikian, kami tetap merawat persahabatan dengan sesekali janjian untuk bertemu. Seperti yang kami lakukan saat ini.

Dokpri. Bersama pemuda perubahan bangsa
Dokpri. Bersama pemuda perubahan bangsa
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dari sekian panggilan yang dialamatkan kepadanya, saya lebih nyaman menyapanya dengan panggilan Bang Reza. Bukan karena teringat Reza mantan personil band Noah. Tapi, saya merasa nyaman memanggilnya dengan sebutan itu. Sekali lagi dirinya tidak pernah protes, apa lagi marah-marah sampai membanting kulkas hanya karena di panggil bang Reza.

Saya dan bang Reza sudah bersahabat cukup lama. Rekam jejak kami ketika sama-sama menjadi mahasiswa Pasca Sarjana  di kampus berlambang Pinisi di kota Makassar kurang lebih delapan tahun silam. Di kota Daeng, kami memiliki banyak kisah yang belum terurai. Tapi, semua masa-masa itu masih segar di benak kami hingga sekarang ini.

Dokpri. Bersama guru2 kami 
Dokpri. Bersama guru2 kami 
Kini, di pulau seribu mesjid kami menautkan janji untuk bertemu. Setelah masuk di gang dan keluar jalan utama, saya pun sampai di rumahnya. Saya di sambut cukup hangat. Senyum mekar di wajahnya menyambut kedatangan saya. Sejurus kemudian ia membukakan pintu rumahnya dan menyilakan saya memarkirkan kuda besi yang saya tunggangi di halaman rumahnya yang tak seberapa besar.

Di baruga depan rumahnya kami berbincang. Setelah sejenak saya duduk, ia meminta izin untuk mengambil sesuatu. Tak berselang lama ia datang dengan dua gelas kopi hitam. Aroma kopinya cukup menggugah selera. Maklum kebiasaan kami sejak lama, jika bertemu apa lagi ada sesuatu yang di bahas, maka kopi menjadi minuman wajib yang harus ada. Dan bang Reza tahu betul tentang itu.

Dokpri. Kala kami menikmati malam bersama-sama
Dokpri. Kala kami menikmati malam bersama-sama
Karena beberapa bulan tidak pernah bersua, kami berbincang ringan berbagai hal mengenai kampung halaman. Sudah menjadi tradisi saya dan bang Reza. Jika bertemu pasti akan membahas tentang segala hal tentang kampung halaman. Kami menyadari belum berbuat banyak untuk tanah kelahiran. Tapi paling tidak dengan membahas dan mengulasnya, menunjukkan bahwa kami tidak lupa dengan kampung halaman dimana pertama kali kami melihat dunia.

Bang Reza memang sengaja meluangkan waktunya buat saya sore ini. Setelah mengetahui saya berniat akan berkarir di kampung halaman. Sebagai sahabat, dirinya ingin berbicara langsung dengan saya. Karena dengan begitu dirinya bisa leluasa menitipkan harapan. Terlebih harapan untuk berbuat untuk pembangunan tanah kelahiran kami.

Seperti biasa, kami tidak bisa berbincang sebentar. Saking lamanya, setelah sholat Isya saya baru memutuskan untuk pamit. Namun sebelum pulang, Bang Reza sudah menghidangkan makanan dengan ikan bakar buat saya. Di temani putrinya yang cantik, kami makan berdua di baruga rumahnya. Sebelum saya menyantap makanan yang dihidangkan di piring, tiba-tiba bang Reza mengingatkan sesuatu tentang kami di masa lalu.

"Bang, masih ingat nggak ketika kuliah dulu kita buka puasa dengan mangga tetangga"

Mendengar itu, tangan saya tiba-tiba berhenti bergerak. Saya sejenak terdiam. Dalam-dalam saya menarik nafas. Saya tak kuasa melepas pandang. Hati saya tiba-tiba dirundung sedih yang amat sangat kala mengingat masa itu. Masa dimana saya dan bang Reza tidak memiliki cukup uang walaupun hanya sayur untuk buka puasa.

Kala itu, jangankan untuk punya kamar kos sendiri, untuk uang makan saja kami cukup sulit. Kami hanya memiliki modal nekat untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Hanya motivasi dan semangat sekuat baja yang menjadi pijakan untuk memberanikan diri memasuki belantara ilmu pengetahuan.

Dokpri. Sewaktu menyeruput kopi di kediaman Bang Reza
Dokpri. Sewaktu menyeruput kopi di kediaman Bang Reza
Mungkin sama-sama mengalami masa sulit di masa itu yang membuat persahabatan kami mengawet hinga kini. Walaupun tidak jarang dalam banyak kesempatan diskusi, kami kadang berselisih paham karena berbeda pandangan tentang sesuatu. Tapi semua itu, tidaklah melunturkan nilai-nilai persahabatan yang sudah lama kami rawat.

Beberapa pekan ke depan kami pun akan berpisah. Saya pulang ke Dompu, sedangkan bang Reza akan merawat impian bersama keluarganya di pulau seribu Masjid. Semoga di masa mendatang kami sukses di pilihan masing-masing. Terlebih, harapannya kami kembali dipertemukan ketika kesuksesan merupakan jawaban atas perjuangan kami di masa lalu. Semoga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun