Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Paruga Parenta Dana Nggahi Rawi Pahu" dalam Rebutan

15 September 2020   16:08 Diperbarui: 15 September 2020   16:16 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SUATU sore saya sempat singgah di sebuah gedung, di mana seorang bupati Dompu, Nusa Tenggara Barat merumuskan dan menentukan kebijakannya. Dari kampung, di selatan kabupaten, saya menempuh kurang lebih tiga puluh menit perjalanan untuk sampai di kota. Dari luar pagar, saya memperhatikan banyak warga kota yang menghabiskan waktu sore bersama keluarganya di pekarangan gedung.

Di atas gedung, tertulis Paruga Parenta Dana Nggahi Rawi Pahu. Tulisan yang memberikan sinyal kepada rakyat, bahwa gedung  itu tempat bersemayamnya kekuasaan. Kemudian di depan gedung, terlihat hamparan tanah dengan rerumputan yang tertata rapi. Sedangkan di depan pintu masuk, ramai dengan anak-anak yang bermain, begitu juga dengan hamparan halamannya dipenuhi oleh warga kota yang membunuh sore dengan segala permainan.

Dokpri
Dokpri
Karena penasaran, saya pun memasuki pekarangannya. Sebuah gedung yang nan megah, dimana bupati dan segala pemangku kekuasaan bersemayam untuk mengurus rakyatnya. Benarkah demikian? Nampaknya rakyat bisa menjadi hakim bagi kinerja segala pemangku kekuasaan. Rakyatlah yang merasakan langsung dampak dari segala kebijakan yang ditelurkan oleh bupati dengan segala kewenangan yang melekat padanya.

Ketika memasuki areal kantor bupati dengan motor yang saya kendarai, dalam hati sempat bertanya. Apakah gedung pelayan rakyat harus lebih bagus dari rakyat yang dilayani? Jawaban dari pertanyaan itu, tidak saya dapatkan walau pun laju kendaraan, saya hentikan tidak jauh dari tiang bendera. 

Di ujung tiang, terlihat jelas bendera merah putih melambai-lambai karena hempasan angin sore yang sedang menyapa. Sebuah lambang negara yang mengisyaratkan suatu perjuangan dan pengorbanan para pendahulu.

Setelah turun dari motor, saya sejenak memperhatikan gedung mewah di depan tempat saya berdiri. Sebuah gedung yang diperuntukan bagi mereka yang digaji dari pajak rakyat. Kerja-kerja mereka dibayar dari hasil keringat pemulung, tukang ojek, petani dan nelayan yang sabang hari berpeluh keringat hanya untuk membayar pajak dan memastikan dapur rumahnya tetap mengepul sepanjang hari.

Dokpri. Halaman gedung
Dokpri. Halaman gedung
Saya melepas pandang. Anak-anak berlarian, beberapa terlihat bersepeda, dan terlihat pula keluarga kecil bermain dengan buah hatinya di atas rumput yang terlihat menguning namun terurus. Kemudian pegawai taman nampaknya begitu sibuk menyiram di sudut gedung. Kelihatan di sore ini, beberapa warga kota menumpahkan segala penatnya di halaman gedung yang tempati oleh orang nomor satu di kabupaten ini.

Namun demikian, gedung yang nan megah ini dalam 'goncangan'. Tidak lama lagi, gedung ini akan di tempati oleh orang baru. Puncak tertinggi kursi kekuasaan gedung ini, akan segera tergantikan. Sebab, penghuni lama yang sudah sepuluh tahun mendudukinya, kekuasaannya akan berakhir di awal tahun. Bahkan sudah terbuka peluang siapa saja yang sedang memburu kursi kekuasaan yang nantinya akan duduk melenggang di pucuk pimpinan tertinggi.

Dokpri
Dokpri
Penentuan siapa yang akan berhak menempati kekuasaan tertinggi di kabupaten dengan slogan Bumi Nggahi Rawi Pahu ini akan ditentukan lewat pemilihan serentak tanggal 9 Desember nanti. Seluruh rakyat Dompu yang memenuhi syarat, akan memberikan hak suaranya kepada siapa yang pantas menjadi pemimpin tertinggi selama lima tahun ke depan. 

Dan kini, para pemburu kekuasaan ini dengan kendaraan politik serta strategis yang mereka usung, berusaha untuk meyakinkan massa rakyat agar memberikan hak suara kepadanya. Segala daya dan upaya dihamparkan agar tujuannya tercapai. Mereka membangun simpul, memasifkan koordinasi demi memuluskan tujuan, agar bisa duduk manis di kursi kekuasaan.

Para simpatisan mulai bergerak. Mesin politik sudah mulai dipanaskan. Bahkan belakangan ini media online cukup masif memberitakan sepak terjang, mulai dari pasangan calon sampai gerakan para pendukung. Pesta demokrasi mulai dipestakan. 

Di kampung-kampung gardu mulai ramai ketika malam tiba. Beberapa pihak mulai menganalisis peluang-peluang para calon, walau pun analisisnya lebih terkesan asumsi dari pada menganalisis data pemilih. Tapi itulah demokrasi, yang kadang lebih mengutamakan eforia semata dari pada membahas visi misi para calon.

Dalam lamunan menatap gedung Paruga Parenta Dana Nggahi Rawi Pahu, saya tiba-tiba terhentak oleh suara adzan dari Masjid. Ternyata malam mulai menyapa, dan temaram senja perlahan telah pergi dan berlalu. Saya kembali melajukan motor untuk segera sampai di tempat tujuan, agar kembali menikmati hari sebelum malam benar-benar meninggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun