SUATU kebahagiaan bisa bersua dan mengikat persaudaraan lewat jalan silaturahmi dengan beberapa pemuda dan keluarga adat Sajang di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Dari Desa Senaru, Bayan Kabupaten Lombok Utara, kami menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit untuk sampai di desa adat Sajang.
Jalanan yang kami lalui sudah di aspal namun berkelok-kelok. Namun di beberapa titik menuju lokasi tujuan menyuguhkan  pemandangan yang cukup menakjubkan.Â
Laut Jawa cukup jelas terlihat dari kejauhan di beberapa bukit di perbatasan dua kabupaten ini. Viewnya membuat siapa saja akan berdecak kagum dengan alam yang cukup mempesona. Dari arah jalan yang kami lalui, terlihat gunung Rinjani yang masih diselimuti awan tebal seolah terlihat malu menyapa semesta.
Sesampainya di Sajang, kami disambut dengan hangat oleh beberapa anak muda setempat. Di salah satu baruga rumah warga, kami melepas lelah. Tak berselang lama, seorang Inaq (ibu) yang kami datangi rumahnya menyuguhkan beberapa gelas kopi hitam. Saya pun ikut menyeruput kopi dengan begitu nikmatnya.
Obrolan dengan beberapa pemuda setempat, saya mendapatkan gambaran tentang masyarakat Sajang. Baik pandangan masyarakat adat tentang gunung Rinjani, maupun upaya pemuda setempat untuk menghidupkan nilai-nilai budaya Sajang di era kekinian.Â
Saya sendiri begitu menikmati obrolan dengan pemuda-pemuda Sajang yang luar biasa ini. Mereka punya impian, bagaimana adat Sajang bisa tetap eksis dan lestari, walau harus menghadapi arus modernitas yang cukup masif.
Sesaat kemudian, kami pun menyambangi rumah adat Sajang yang tak jauh dari tempat kami menginap. Di baruga di depan rumah adat, kami disambut dengan baik oleh masyarakat setempat termasuk keluarga adat Sajang.Â
Kami pun berbincang beberapa hal tentang adat Sajang yang beberapa hari ke depan akan  melaksanakan ritual Asuhan Gunung. Ritual Asuhan Gunung ini sendiri, merupakan ritual adat untuk membersihkan gunung ketika muncul berbagai bencana. Baik bencana kekeringan panjang, gempa bumi, maupun ketika terjadi banjir bandang.
Di baruga tempat kami duduk, saya menyaksikan beberapa persiapan adat Sajang dan warga setempat untuk menyambut ritual Asuhan Gunung. Puluhan butiran kelapa terlihat di pekarangan rumah adat, potongan kayu bakar, dan beberapa ibu-ibu sedang membersihkan beras.Â
Saya sendiri tidak melewatkan momen tersebut. Dengan camera handphone, saya memotret aktivitas ibu-ibu yang dengan serius mempersiapkan ritual Asuhan Gunung.
Bahkan di baruga adat, kami pun berkesempatan berbincang dengan keluarga pemangku adat Sajang. Lewat penuturan keluarga adat, kami mencoba memahami bagaimana adat Sajang bertahan dari arus globalisasi, serta hubungannya dengan Gunung Rinjani yang sudah menjadi magnet, baik bagi wisawatan domestik maupun wisawatan mancanegara.
Berada di wilayah adat Sajang, saya bisa melihat langsung bagaimana persiapan warga dan keluarga adat Sajang untuk pelaksanaan ritual Asuhan Gunung. Nampaknya semua pihak akan mengambil peran demi suksesnya acara Asuhan Gunung ini.Â
Ketika saya meminta izin untuk ikut mengambil bagian dalam acara Asuhan Gunung kepada salah seorang keluarga adat Sajang. Dengan senang hati memberikan izin, namun demikian  diharuskan untuk mengikuti serta mentaati aturan  adat setempat.
Mendapatkan izin untuk ikut serta dalam acara Asuhan Gunung, merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi perjalanan saya kali ini. Walaupun harus menunggu satu hari lagi, saya nampaknya tidak sabar menyaksikan acara adat ini dilangsungkan. Tentu harapannya, semoga ritual Asuhan Gunung berjalan  sesuai dengan yang diharapkan oleh semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H