Jauh hari ia sudah memikirkannya. Yang paling realistis baginya adalah kebun miliknya. Tanaman yang memenuhi kebunnya menjadi investasi jangka panjang buat semua anaknya.Â
Dari hasil kebun, ia yakin akan mampu memenuhi segala kebutuhan untuk mengantarkan anaknya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Bahkan tanpa di panen sendiri pun, segala tanaman yang tumbuh di kebun miliknya bisa dipanen oleh orang lain dengan mendapatkan sebagian hasil untuknya.
"Saya menanam kopi, cengkeh, advokat, dan manggis hasilnya sebagai modal untuk menafkahi keluarga dan anak," tuturnya.
Ia tidak ingin anaknya seperti dirinya yang selalu berjibaku menantang hari untuk lembaran rupiah. Baginya keluarga adalah segalanya. Ia terus berusaha agar anaknya menjadi orang sukses di masa mendatang. Cukup dirinya merasakan banyak penderitaan hidup, tapi tidak untuk anaknya.Â
"Saya bekerja keras agar anak saya tidak menjadi porter, tukang ojek dan capek-capek seperti saya. Karena ke depan manusia bertambah, dan tambah sulit mencari pekerjaan." Ucapnya mengakhiri pembicaraan kala hujan gerimis mulai menyapa kebun miliknya dan kami pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Padanya banyak pelajaran dan hikmah hidup yang bisa menjadi referensi bagi semesta. Ia tidak mengukur hidup hanya seonggok materi. Tapi mengikat persahabatan dengan tindakan yang mampu membuat yang lain bisa tersenyum. Ia menggratiskan banyak hal untuk kebaikan sesama. Mulai basecam miliknya hingga memberikan lebih kepada mereka yang membeli kopi miliknya. Membuat orang tersenyum karena kebaikan adalah bagian dari pada tujuan hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H