Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kopi dan Gadis Penenun yang Cantik

31 Juli 2020   05:36 Diperbarui: 31 Juli 2020   05:57 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Kopi dibawah Kaki Gunung Rinjani

SEBUT saja namanya Denda Nuarini (16). Denda, terlihat cekatan menenun ketika aku melihatnya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Di depan tokohnya, nampak dia begitu serius dan hanya fokus pada pekerjaannya.

Aku mencoba menghampirinya. Melihat aku mendekat, kelihatannya Denda tak menunjukkan sikap tak nyaman. Kemudian aku meminta izin untuk mengambil gambar dan kemudian duduk di dekatnya. Denda hanya menjawab seadanya, sambil tersenyum mengembang tanpa memandang ku.

Sesaat aku memperhatikan, bagaimana Denda menenun. Denda terlihat begitu lancar menggerakan tangannya untuk mengatur lalu lintas benang yang begitu banyak di depannya.

Untuk memudahkan tangannya bisa menarik kayu sebagai penguat benang, punggungnya dipasang kain yang melingkar, mengapit badannya sebagai tempat bersandar agar terlihat rileks.

Dokpri
Dokpri
Dokpri. Ibu Denda
Dokpri. Ibu Denda
Hal itu yang membuat ku sesaat terkagum serta tercenung. Ketika gadis seusianya sibuk dengan handphone di tangan, sambil narsis di media maya, walaupun tidak pernah berjumpa dengan luna Maya. Justru, Denda malah senang menjadi penenun dan membantu ibunya untuk mengembangkan usahanya.

Dari raut wajahnya yang ayu, Denda telah menjadi pewaris generasi yang akan menjaga, memelihara budaya leluhurnya dengan memilih menjadi penenun.

Ketika siswa yang lain merenge-renge untuk dibelikan baju dan tas ala artis kepada orang tuanya. Malah, Denda memproduksi pakaian tradisional dengan keberanian yang besar untuk melawan secara tidak langsung, brand yang sedang menjalar dan wara wiri di jagat media sosial.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Tak berselang lama, setelah mengumpulkan keberanian, aku pun mencoba mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Ketika mendengarkan keinginan ku yang ingin bertanya sesuatu tentang dirinya. Denda hanya mengangguk, sebagai bentuk persetujuan.

Pertanyaanku hanya seputar nama, berapa lama dia menenun, umurnya berapa, dia belajar dimana sehingga bisa menenun, dan apakah masih sekolah atau sudah tamat.

Dari semua pertanyaan yang aku ajukan dengan diselingi beberapa obrolan yang membuat kami tersenyum sumringah. Denda dengan senang hati menjawabnya.

Mulanya, Denda belajar menenun sejak duduk di bangku sekolah dasar, kemudian dia belajar kepada ibunya yang juga seorang penenun. Namun, ketika ada mata pelajaran seni yang mengajarkan tentang bagaimana cara menenun di sekolahnya, kesempatan itu dimanfaatkannya dengan baik, untuk mengasah kemampuannya.

Dokpri. Kopi dibawah Kaki Gunung Rinjani
Dokpri. Kopi dibawah Kaki Gunung Rinjani
Dokpri. Biji Kopi
Dokpri. Biji Kopi
Terhitung, Denda telah melakoni aktivitasnya menjadi penenun tradisional selama tujuh tahun. Bahkan ketika dirinya sudah diterima menjadi siswa di SMAN 1 Bayan Lombok Utara Nusa Tenggara Barat, Denda masih meluangkan waktu untuk membantu ibunya menenun.

Terlebih dengan  belajar daring di rumah karena efek Covid-19, Denda cukup banyak waktu untuk berada di branda tokohnya untuk menenun setiap hari. Karena sekolah masih ditutup untuk belajar tatap muka, Denda  biasanya pagi-pagi sudah berada di tokohnya untuk menenun. Bahkan  hal itu dia lakukan hingga sore hari.

Dari sekian sarung yang dihasilkan, Denda bisa membuatnya paling cepat hanya lima hari. Tapi ada juga menghabiskan waktu selama satu bulan. Menurutnya, ini tergantung berapa besar dan motif sarung yang dibuat. Bahkan Denda bisa membuat berbagai motif, baik sesuai pesanan pelanggan, maupun disesuaikan dengan motif budaya dan adat setempat.

Dokpri
Dokpri
Karena berada di tempat wisata gunung Rinjani dan mesjid tua Bayan, menjadikan tempatnya sangat strategis bagi keberlangsungan usahanya yang menyiapkan segala oleh-oleh bagi wisatawan.

Bahkan jika wisatawan tidak ramai seperti sekarang ini, karena Covid-19, biasanya tetap ada saja yang terjual. Karena ketika ada acara perkawinan, sunatan serta acara keagamaan, tetap ada saja masyarakat setempat yang mencari kebutuhan pakaian atau sarung yang digunakan untuk acara-acara tersebut.

Sambil melihat Denda menenun, aku tidak lupa menikmati kopi yang disajikan oleh warga setempat. Kopi hitam dengan rasa yang manis, menambah ademnya suasana alam di kaki gunung Rinjani yang sejuk.

Namun, perjumpaan ku dengan Denda tidak berlangsung lama. Karena suatu agenda penting, aku harus cepat bergegas untuk menuntaskan misi bersama dengan teman-temanku yang lain.

Tapi, sebelum benar-benar meninggalkan Denda bersama aktivitas menenunnya, aku kembali mencoba mendokumentasikan perjumpaan ku dengannya. Di balik wajahnya yang ayu melambai, Denda terlihat senyum ketika ku ajak untuk foto bersama sebagai kenangan perjalanan ku di kampungnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun