PRIBAHASA lama mengatakan hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Pribahasa ini seolah ingin mengatakan, bahwa kampung halaman dimana seseorang dilahirkan, dibesarkan akan tetap selalu bersamai dalam kalbu, walaupun sudah merasa hidup matang di perantauan. Suasana perasaan kala di kampung menyatu dengan semesta, menyentuh relung hati kala berpijak di tempat-tempat tertentu yang dulu pernah menyimpan kisah.
Semenjak kembali ke kampung dari perantauan satu bulan yang lalu. Saya berkesempatan menyambangi tempat-tempat yang dulu di masa kecil berkisar tentang geliat tawa, tangisan, teriakan memekakan semesta. Tempat itu mengingat kembali ketika hari dilalui bersama anak-anak kampung, mengejar layang-layang, menyelam di sungai untuk menangkap ikan di sela bebatuan, dan bahkan pernah didatangi oleh ibu dengan kayu di tangan kala terlalu lama menghabiskan waktu mandi di sungai.
Masa-masa itu telah kembali menyeruak ke permukaan memori. Menyaksikan kampung yang sudah bersolek dengan banyaknya bangunan tembok, seolah sedang menepikan bangunan rumah kayu yang dulu menjadi tempat bersemayam warga kampung. Rumah-rumah berbahan kayu dan genteng, mulai tergantikan dengan rumah berbahan semen dan seng yang terlihat praktis.
Semua perlahan berubah. Saya hanya bisa mengingat kembali masa-masa, dimana kampung masih cukup asri, air sungai yang jernih, jalan kampung yang sepi kendaraan, anak-anak yang main berkelompok dengan saling mengejar dan bersembunyi di balik pohon pisang.
Ketika malam meninggi, warga berkumpul di gardu sambil mengisap rokok kretek dan ditemani kopi hitam. Suara jangkring, nyanyian burung dari arah gunung ikut menemani malam warga kampung. Di gardu kisah itu diwartakan, beberapa yang lain sesekali tertawa ketika cerita itu bernada humoris. Di tangan hanya rokok, dan tak ada handphone, apa lagi kunci motor.
Sawah dan ladang merupakan kantor bagi sebagian besar warga kampung. Sangat sedikit yang berprofesi lain. Di musim tanam, ketika terang tanah dan mentari pagi mulai menyapa semesta, warga akan terlihat sibuk di beberapa sudut gang kampung. Mereka bersiap menuju  persawahan dengan menyusuri jalan yang berada di pematang sawah di belakang kampung. Udara pagi masih sangat sejuk, kodok sesekali terlihat meloncat di pematang sawah, ular menggelantung di pagar persawahan, burung berkicau nyaring menyambut hari baru yang penuh harmonis.
Dari kejauhan, terlihat bapak mengajarkan anaknya bagaimana membajak sawah yang baik. Bagaimana mengarahkan kerbau agar berjalan searah, membuatnya tenang ketika memberontak, dan memukulnya di bagian yang tak membuatnya marah. Kerbau menjadi bagian nafas pertanian warga kampung. Semuanya masih alami, masih asri, alam menyatu dengan  seluruh mahluk. Gunung masih hijau, persawahan masih asri, lautan membiru dalam pandangan.
Penggalan masa itu, menyeruak di benak kala menikmati secangkir kopi hitam di Kedai Kopi Dae Rul Cambera, Desa Marada, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu. Masa itu hanya bisa saya kenang kini. Ia telah berlalu bersama waktu, menghilang ditelan modernisasi yang angkuh, dan dihempas kesombongan canggihnyaTak terlihat lagi kerbau dengan seorang anak yang suara mendayung kala membajak sawah, tak nampak dokar dengan suara khas dengan kudanya yang melintas di jalan, bahkan sudah tak ada lagi persawahan dengan menguningnya padi ketika panen mulai disegerakan.
Semua nampak berubah, gagal panen sudah menjadi cerita yang memprihatinkan warga kampung. Air yang mengairi persawahan sudah enggang menyapa, kodok tak terlihat bahkan tak terdengar lagi kala melintas di pematang sawah. Di beberapa titik, persawahan enggang lagi dijamah, karena air tak tersedia cukup untuk mengairi tanaman. Bahkan kadang percekcokan antara warga karena air merupakan hal yang sering terdengar dan jumpai. Bentangan gunung yang menghijau kini telah tergerus keangkuhan serta keserakahan tangan-tangan manusia.