Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gunung, Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini

2 Juli 2020   06:07 Diperbarui: 2 Juli 2020   06:14 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Gunung di Desa Tenga, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu

KETIKA adzan subuh terdengar dari arah masjid yang tak jauh dari rumah, masih terdengar jelas kokok ayam berkejaran dengan panggilan marbut untuk menunaikan kewajiban menghadap ilahi. Kemudian setelah terang tanah, kami yang masih berstatus pelajar, biasanya berbondong-bondong menuju sungai dekat kampung untuk mandi. 

Dengan menapaki gang kampung, kemudian menyusuri jalan raya yang sudah diaspal hingga bertemu dengan teman-teman, dari kampung sebelah di pinggir sungai.

Sesampainya di sungai, ada yang langsung mandi, ada pula yang masih menyelimuti diri dengan sarung. Air sungai masih jernih, mengalir, udara dingin terasa di kulit dan dibeberapa titik tergenang cukup dalam. 

Sehingga kami bisa loncat sambil teriak dari arah tebing. Kadang kami mandi tidak menggunakan sabun, yang penting basah. Dua tiga kali loncat dan menyelam, langsung keluar dan pulang ke rumah. 

Di kedalaman air, kami bisa mencari ikan, udang bahkan kepiting di sela-sela bebatuan. Air jernih yang turun dari arah gunung yang kami nikmati karena alamnya masih perawan dan belum terjamah oleh tangan-tangan manusia. Rimbunan pohon yang bertengger di gunung, menghadirkan udara yang segar dan bersih bagi penghuni kampung.

Dokpri. Sungai Doro Adu, Dusun Ruhu Rumah, Desa Rasabou, Dompu
Dokpri. Sungai Doro Adu, Dusun Ruhu Rumah, Desa Rasabou, Dompu
Ketika mentari pagi tertahan oleh awan untuk menyapa semesta, kadang kami agak malas-malasan untuk bergegas menuju sekolah lebih awal. Seperti embun pagi yang enggang enyah dari persemaian dedaunan. Ia begitu betah untuk bersantai, sehingga menghadirkan kesejukan aroma semesta.

Di kampung kami sebelum mentari meninggi, udaranya masih sangat dingin, rimbunan pohon di gunung menghijau memanjakan mata. Di kala pagi menyapa, pemandangan menyapu gugusan pegunungan yang bergelombang di timur perkampungan. Sawah menghijau, air mengalir di pematang sawah, begitu lancar, sambil sesekali kodok bergembira ria di antara rimbunnya reremputan.

Ketika menaiki dokar menuju sekolah, di salah satu desa tetangga yang  biasa kami lewati, udaranya sangat dingin.
Bahkan kulit kami tak mampu berkompromi dengan udara sekitar, karena kami hanya mengenakan seragam sekolah yang tidak terlalu tebal. 

Bahkan melewati daerah itu, kami masih bisa mendengar nyanyian ayam gunung dari arah hutan. Suaranya cukup menggema menyapa semesta. 

Gunung yang asri dengan pohonnya yang masih terawat, menjadi rumah yang nyaman bagi ayam gunung dan jenis spesies lainnya. Mereka hidup harmonis dengan alam, walaupun sesekali diburu oleh warga sekitar untuk dijual di pasar.

Itu dulu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Gunung-gunung yang asri yang menakjubkan mata karena jutaan pohon belum tergerus oleh kerakusan tangan manusia. 

Kini, bentangan pohon-pohon itu, sudah mulai habis dibabat dan dijadikan lahan garapan untuk menanam jagung bagi warga setempat. Pohon-pohon yang rimbun sebagai tempat dan rumah bagi banyak spesies, mulai tergantikan dengan rimbunan  pohon jagung yang bergelombang memunggungi bukit-bukit.

Di semua desa, kondisi gunung ibaratnya kue ulang tahun yang sudah dipotong-potong dan dibagikan kepada semua yang hadir. Mereka menikmati tanpa pernah berpikir bagaimana dampak yang ditimbulkan karena pembabatan pohon untuk menggunduli gunung. Gunung seperti kepala orang yang sudah botak. Rambutnya bukan lagi dicukur, tapi dicabut hingga ke akar-akarnya.

Gunung telah dieksploitasi habis-habisan. Program jagung yang dicanangkan oleh pemerintah daerah, berimplikasi pada gundulnya gunung di hampir semua desa. Ada yang keberatan? Tentu. 

Tapi suara dan riak-riak penolakan serta keberatan sebagian warga itu, menjadi sayup-sayup terdengar, kemudian menjadi angin lalu. Warga dibiarkan berpolemik dengan sendirinya tanpa ada upaya yang serius dan masif dari pemerintah setempat, untuk melakukan langkah-langkah pencegahan. Bahkan melihat kondisi yang ada, seakan terkesan ada upaya pembiaran, dan mungkin sengaja dibiarkan.

Dokpri. Lahan jagung warga di gunung tepatnya di dekat Teka Ndahu, Desa Adu, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu
Dokpri. Lahan jagung warga di gunung tepatnya di dekat Teka Ndahu, Desa Adu, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu
Pemerintah mestinya harus hadir dan menjawab segala problem yang dikeluhkan oleh sebagian warga terkait banyaknya gunung yang dibabat untuk dijadikan lahan jagung. 

Jika pun gunung bisa dibuka sebagai lahan tanam, perlu ada edukasi dini kepada warga tentang batas teritorial yang bisa buka sebagai lahan, jika pun itu mendapatkan izin dari pemangku kebijakan. 

Jika pun di tolak, mestinya ada upaya serius untuk menindak dengan tegas, kepada semua elemen yang menginisiasi membuka lahan di gunung tanpa izin.

Sekarang, udara tak sedingin dulu, tak ada air yang mengalir, hilangnya rimbunan pohon menyapa semesta. Ketika mata terbuka di pagi hari, terbentang lahan jagung dari ujung gunung satu, ke ujung gunung yang lain. Jagung telah menjadi komoditi yang merampas hijaunya pemandangan, karena warga telah menjadikanya tanaman favorit. 

Beralihnya warga kepada tanaman jagung, karena dirasa memberikan keuntungan lebih jika dibandingkan komoditi yang lain. Warga tak bisa disalahkan sepenuhnya, karena pembukaan lahan ini. Sebab, warga menanam sesuatu jika mampu memberikan keuntungan ekonomis bagi keluarga dan masyarakat setempat.

Mestinya, harus ada pendampingan yang masif dilakukan pemerintah daerah kepada warga, agar tidak melakukan pembabatan hutan secara membabi buta untuk membuka lahan demi menanam jagung. 

Pemerintah daerah tidak boleh hanya mengeluarkan sepogok kebijakan untuk menjadikan Dompu menjadi sentral jagung nasional, lalu membiarkan masyarakatnya menafsirkan sendiri potong kebijakan tersebut. Sehingga implikasinya, hutan lindung pun menjadi santapan warga yang berambisi untuk memperluas lahan garapan demi menanam jagung.

Perhari ini, nasi telah menjadi bubur. Gunung telah gundul, hasil panen jagung warga sudah dinikmati dan air bersih mulai tidak tersedia di perkampungan. Terjadi ambivalensi antara kebutuhan akan air bersih dengan upaya terus menerus membuka lahan dengan membabat habis gunung untuk menanam jagung.

Sampai kapan ini terus terjadi, mungkin sampai bencana itu datang untuk menyadarkan semua pihak yang masih tidur pulas demi kerakusan ambisi segelintir orang yang akan berdampak bagi semua pihak. Mungkin kita akan menyadari ayat tuhan ketika bencana sudah menimpa. Bukankah Tuhan sudah memberikan peringatan dalam surat Ar-Rum ayat 41, dimana Tuhan berfirman "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia".

Haruskah kita menunggu kemurkaan Tuhan, baru kita mengerti menjaga alam ini. Entahlah, hanya orang yang berpikir jernih untuk menyadari pentingnya membangun keharmonisan dengan alam. Semua kembali kepada kesadaran masing-masing, karena hanya Tuhan hanya pantas menilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun