Kini, bentangan pohon-pohon itu, sudah mulai habis dibabat dan dijadikan lahan garapan untuk menanam jagung bagi warga setempat. Pohon-pohon yang rimbun sebagai tempat dan rumah bagi banyak spesies, mulai tergantikan dengan rimbunan  pohon jagung yang bergelombang memunggungi bukit-bukit.
Di semua desa, kondisi gunung ibaratnya kue ulang tahun yang sudah dipotong-potong dan dibagikan kepada semua yang hadir. Mereka menikmati tanpa pernah berpikir bagaimana dampak yang ditimbulkan karena pembabatan pohon untuk menggunduli gunung. Gunung seperti kepala orang yang sudah botak. Rambutnya bukan lagi dicukur, tapi dicabut hingga ke akar-akarnya.
Gunung telah dieksploitasi habis-habisan. Program jagung yang dicanangkan oleh pemerintah daerah, berimplikasi pada gundulnya gunung di hampir semua desa. Ada yang keberatan? Tentu.Â
Tapi suara dan riak-riak penolakan serta keberatan sebagian warga itu, menjadi sayup-sayup terdengar, kemudian menjadi angin lalu. Warga dibiarkan berpolemik dengan sendirinya tanpa ada upaya yang serius dan masif dari pemerintah setempat, untuk melakukan langkah-langkah pencegahan. Bahkan melihat kondisi yang ada, seakan terkesan ada upaya pembiaran, dan mungkin sengaja dibiarkan.
Pemerintah mestinya harus hadir dan menjawab segala problem yang dikeluhkan oleh sebagian warga terkait banyaknya gunung yang dibabat untuk dijadikan lahan jagung.Â
Jika pun gunung bisa dibuka sebagai lahan tanam, perlu ada edukasi dini kepada warga tentang batas teritorial yang bisa buka sebagai lahan, jika pun itu mendapatkan izin dari pemangku kebijakan.Â
Jika pun di tolak, mestinya ada upaya serius untuk menindak dengan tegas, kepada semua elemen yang menginisiasi membuka lahan di gunung tanpa izin.
Sekarang, udara tak sedingin dulu, tak ada air yang mengalir, hilangnya rimbunan pohon menyapa semesta. Ketika mata terbuka di pagi hari, terbentang lahan jagung dari ujung gunung satu, ke ujung gunung yang lain. Jagung telah menjadi komoditi yang merampas hijaunya pemandangan, karena warga telah menjadikanya tanaman favorit.Â
Beralihnya warga kepada tanaman jagung, karena dirasa memberikan keuntungan lebih jika dibandingkan komoditi yang lain. Warga tak bisa disalahkan sepenuhnya, karena pembukaan lahan ini. Sebab, warga menanam sesuatu jika mampu memberikan keuntungan ekonomis bagi keluarga dan masyarakat setempat.
Mestinya, harus ada pendampingan yang masif dilakukan pemerintah daerah kepada warga, agar tidak melakukan pembabatan hutan secara membabi buta untuk membuka lahan demi menanam jagung.Â
Pemerintah daerah tidak boleh hanya mengeluarkan sepogok kebijakan untuk menjadikan Dompu menjadi sentral jagung nasional, lalu membiarkan masyarakatnya menafsirkan sendiri potong kebijakan tersebut. Sehingga implikasinya, hutan lindung pun menjadi santapan warga yang berambisi untuk memperluas lahan garapan demi menanam jagung.