KETIKA malam menyapa, sekumpulan anak muda berkumpul dan berdiskusi sambil menyeruput kopi di kedai Dae Rul Cambera, Desa Marada, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu.Â
Malam bisa saja terasa dingin karena hembusan angin menyapa kulit anak-anak muda yang duduk dengan sejuta ide dan gagasan yang menyeruak di permukaan. Tapi, akan tetap terasa hangat karena kopi selalu menemani dalam suasana persahabatan. Ide dan gagasan itu kadang berbenturan dan menemukan keharmonisan untuk menyapa semesta.
Kopi menjadi minuman yang menghangatkan perjumpaan. Aromanya meraba hidung setiap yang hadir, menjadi tameng bagi dinginnya malam, dan memberikan spirit pada kehangatan dalam perjumpaan.
Kopi tidak saja dilihat dalam dimensi kebutuhan ekonomis. Tapi punya sejarah penting dalam dimensi sosial dan politik. Kehadiran-nya meruntuhkan kekuasaan dan menghadirkan perubahan besar umat manusia.
Jika ditelisik secara historis, kopi telah memainkan peran penting di masa sebelum revolusi Prancis dan Revolusi Industri di Inggris. Di Inggris, pada tanggal 29 Desember 1675, Raja Inggris Charlles II, pernah melarang warganya untuk meminum kopi di kafe-kafe. Sebab, di kafe-kafe itulah rakyat Inggris berkumpul dan membahas banyak topik, terlebih mencanangkan perjuangan untuk meruntuhkan feodalisme.
Di Prancis, seorang filsuf sekaligus politikus terkenal bernama Voltaire dapat menghabiskan kopi dicampur cokelat sebanyak 40 gelas perharinya. Menurutnya, dengan meminum kopi, otaknya bisa encer dan melahirkan banyak ide serta gagasan untuk memikirkan banyak hal.Â
Revolusi Prancis 1789, tidak bisa sepenuhnya dilepaskan keberadaan kafe-kafe yang menyediakan kopi bagi rakyat Prancis. Di kafe-kafe itulah tersemai ide para pejuang revolusi, yang sudah lelah dengan bobroknya peringai para penguasa feodalisme.
Di Indonesia, di masa sebelum Reformasi meletus, kita banyak mendengar kisah aktivis yang sering nongkrong di kedai-kedai kopi untuk memperbincangkan banyak hal, termasuk menyangkut aspek sosial dan politik.Â
Walaupun di masa itu, para aktivis tidak leluasa untuk saling menyambangi karena kontrol yang begitu ketat oleh rezim Orde Baru. Namun, tidak menutup sepenuhnya ruang bagi aktivis pergerakan untuk saling bertukar ide perjuangan. Hingga kini, di kedai-kedai kampus menjadi tempat favorit bagi para aktivis untuk bersua sambil menyeruput kopi.
Saya teringat di masa menjadi mahasiswa di kampus merah kota Makassar. Ketika pertama kali menjadi mahasiswa, saya cukup sering menyaksikan  senior dan dosen duduk di warung-warung kampus, sambil berdiskusi dan menyeruput kopi.Â
Bahkan  dalam rapat-rapat lembaga, kopi menjadi minuman yang tak tergantikan. Bahkan, beberapa orang bisa bergantian meminum kopi walaupun yang tersedia hanya satu gelas. Nilai persaudaraan pun kadang diukur dari kekompakan meminum satu gelas kopi dalam suatu pertemuan.