SAYA bersyukur tahun ini bisa merayakan lebaran di kampung halaman. Bisa kembali berkumpul dengan sanak saudara, keluarga dan orang tua. Walaupun lebaran tahun ini tidak semarak tahun lalu, tapi kerinduan untuk kembali berkumpul dengan orang terkasih di tempat kelahiran, dapat menjawab kerinduan setelah lama di tempat perantauan.Â
Untuk bisa kembali ke tanah kelahiran, suatu kesyukuran. Mengingat, hampir semua kota pelabuhan di tanah air, di tutup karena upaya memutus mata rantai Covid-19. Awalnya, saya hampir memendam kerinduan untuk bisa merayakan  lebaran di kampung halaman. Surat edaran yang publikasikan pemerintah Nusa Tenggara Barat, bahwa bandara dan pelabuhan di tutup sementara waktu. Informasi itu, membuat harapan saya hampir pupus untuk menikmati suasana lebaran, sambil menyambangi tempat-tempat favorit yang penuh kenangan di kampung halaman.Â
Alhamdulilah belakangan, informasi dari kawan-kawan yang duluan sudah berpijak di kampung halaman membuat harapan itu mekar kembali. Para pengandara jika memiliki kartu tanda penduduk di tempat tujuan, maka mendapat izin untuk bisa melakukan pelayaran dengan kapal penyebrangan.
Setelah urusan pekerjaan selesai, saya pun memutuskan kembali ke kampung halaman. Dari kota Mataram, setelah menunaikan sholat subuh, roda dua yang saya tumpangi membela sisa malam menuju pelabuhan Kayangan, Lombok Timur. Dalam perjalanan menuju pelabuhan, hampir tidak mendapat kendala berarti. Lalu lintas kendaraan tidak terlalu ramai, beberapa pasar yang biasa ramai di pinggir jalan terlihat sepi. Kebijakan pemerintah yang menutup tempat-tempat umum, memberikan dampak pada ruang-ruang publik termasuk pasar.Â
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih 1 jam perjalanan, saya pun sampai di pelabuhan. Di pintu masuk, saya harus menepikan kendaraan. Pemeriksaan dilakukan petugas: surat kesehatan, kartu tanda penduduk, pengecekan suhu badan. Alhamdulilah semua beres. Pelabuhan nampak sepi. Kendaraan roda dua, roda empat, bahkan kendaraan  lintas provinsi bisa dihitung jari. Itu pun kalau punya jari. Begitu juga di dalam kapal, tempat duduk penumpang banyak yang kosong. Saya bisa memilih banyak tempat duduk, dan bahkan saya bisa memilih untuk berbaring dan merajuk mimpi sambil menikmati angin laut nan sejuk.
Nampaknya cuaca kali ini tidak bersahabat. Gumpalan awan tebal membumbung di langit selama berlayar.
Dalam radius yang terjangkau mata, pelabuhan Poto Tano terlihat jelas di gugus tebing, ujung Pulau Sumbawa setelah berlayar sekitar 2 jam lamanya. Sebelum bersandar, kapal yang saya tumpangi tiba-tiba diguyur hujan lebat, hingga membasahi sebagian badan kapal. Â Setelah kapal bersandar dan melajukan kendaraan, terlebih dahulu saya memutuskan untuk menyimpan handphone di tempat yang aman, agar tak terjangkau air hujan.Â
Sekitar satu kilo meter dari arah Pelabuhan Poto Tano, saya harus kembali diperiksa oleh tim medis setempat. Tidak lama. Kembali di bawah guyuran hujan yang membasahi bumi, saya melajukan kendaraan roda dua yang saya tumpangi, untuk membelah jalan Pulau Sumbawa yang cukup panjang dan berkelok. Perjalanan yang cukup melelahkan, sesekali penuh kehati-hatian karena di beberapa titik terdapat jalan berlubang.Â
Menempuh perjalanan panjang sekian kilo meter, dibutuhkan tenaga prima, ke-fokus-an, harus menahan rasa kantuk yang menyapa, menepikannya, menekannya dalam-dalam, agar laju kendaraan tetap berada pada porosnya. Jika kurang fokus, bisa berisiko. Saya memutuskan untuk tidak singgah dan berhenti selain mengisi bensin motor. Sebab, tidak cukup alasan untuk menepi karena sekujur badan sudah basah karena air hujan.Â
Setelah sekian jam perjalanan, akhirnya saya kembali menyapa kota Dompu sekitar pukul 15:30, dengan pakaian yang basah di badan. Walaupun begitu, kelelahan terjawab oleh pemandangan yang cukup eksotik selama perjalanan. Birunya laut, gunung yang menjulang tinggi, hamparan ladang warga, kampung-kampung yang berderet serta hilir mudik warga yang keluar masuk di pasar Sumbawa, merupakan sederetan pemandangan yang dijumpai selama perjalanan.Â
Sebelum benar-benar menyapa keluarga di kampung yang masih jauh dari Kota Dompu. Saya memutuskan singgah terlebih dahulu di rumah nan megah milik Kakanda Iskandar Pasdompu, selaku anggota DPR Kabupaten Dompu. Kali ini saya sedikit beruntung, karena beliaunya ada di rumah dan menyambut saya dengan senyum sumringahnya. Walaupun saya dalam keadaan basah, beliau tidak segan mempersilakan saya duduk di kursi empuknya nan megah.Â
Pertemuan dengan Kakanda Iskandar Pasdompu selalu punya kesan tersendiri. Ada banyak pelajaran, makna, serta optimisme tingkat Einstein dari setiap kalimat yang terucap dari mulutnya. Bersua dengannya saya memilih untuk lebih banyak mendengarkan. Sebagai orang yang pernah berada dalam lapisan sosial masyarakat biasa, dan kini menjadi orang kaya dan sekaligus anggota dewan di level kabupaten, beliau merupakan inspirasi bagi kalangan anak muda seperti saya. Sosoknya telah menghadirkan optimisme, dan semangat juang dalam menapaki karir dan mengetuk pintu kesuksesan.
Perjumpaan dengan Kakanda Iskandar Pasdompu, tidak begitu lama, paling tidak kembali ke kampung halaman kali ini bisa berjumpa dengannya merupakan suatu anugrah terindah bagi anak muda seperti saya.
Sebelum waktu buka puasa tiba, saya memutuskan pamit dan kembali melanjutkan perjalanan ke kampung halaman. Dari Kota Dompu, saya kembali melewati perkampungan warga yang berderet hampir di sepanjang jalan di pinggir kota. Dalam perjalanan pulang, kembali hamparan sawah, rimbunan pohon jagung memenuhi gunung Bumi Nggahi Rawi Pahu menjadi pemandangan yang biasa. Jalan berkelok, melintasi jembatan tua, rumah warga transmigran, serta rombongan sapi yang keluar dari ladang warga merupakan pemandangan yang tersaji selama perjalanan. Setelah melewati perjalanan kurang lebih 30 menit, sampailah saya di tempat tujuan.Â
Sesampai di rumah, saya disambut oleh seorang ibu dengan pelukan hangatnya, yang selalu khawatir sepanjang perjalanan. Pelukannya seperti embun membasahi bumi yang menghidupkan tanaman di musim hujan. Kasih sayangnya laksana oase di gurun yang tandus nan kering. Cintanya menghamparkan cahaya di gelapnya malam, yang menaruh kerinduan akan jalan terang dalam menapaki hari.Â
Di ujung bulan puasa, saya akhirnya bisa berbuka dan makan sahur dengan orang-orang terkasih yang selalu bertingkah dan laku penuh cinta. Kembali merayakan Idul Fitri dengan orang terkasih adalah salah satu kerinduan bagi mereka-mereka yang berpijak lama di tanah perantauan. Dan tahun ini, saya salah satu yang beruntung bisa melalui dan merasakan lebaran di tanah kelahiran yang penuh kenangan.Â
Kuta, 24 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H