KADANG saya mengutuki diri sendiri atas ketidakmampuan berbicara dengan retorika yang mempesona di depan banyak orang. Saya sering minder dan tidak percaya diri, jika ingin mengutarakan gagasan kepada lawan bicara, apa lagi di ruang- ruang diskusi. Saya justru sangat mengagumi kawan-kawan yang memiliki kemampuan mengutarakan gagasan dengan runut, sistematis, serta pilihan kata-kata yang mumpuni.
Ketika saya mendapat kesempatan bicara, saya hanya bisa menimpali sekenanya, tanpa mampu mengutarakan ide secara baik. Kadang saya menyaksikan lawan bicara tidak terlalu tertarik tentang apa yang saya sampaikan.Â
Sehingga saya kadang merasa tidak perlu menyampaikan sesuatu, karena tidak menarik. Sehingga dalam kondisi yang demikian, saya kadang memilih diam, dan mendengarkan.
Semakin ke sini, saya mulai menyadari kelemahan ini. Saya mendapatkan banyak sumbangan pengetahuan dari lawan bicara, dengan kemampuan mereka mengutarakan banyak teori, karena bacaan yang berkelas, saya nampaknya tidak perlu lagi membaca buku yang mereka pelajari, karena sudah mendapat intisarinya.
Dulu, di zaman mahasiswa, saya mencoba peruntungan untuk mendapatkan kesempatan mengasah kemampuan, terlebih kemampuan berbicara yang baik. Lagi lagi saya tidak mampu mengekspor kemampuan saya secara baik, saya selalu gagal dalam menyampaikan sesuatu secara sempurna. Kadang saya mengeluhkan kelemahan ini dalam setiap momen, seharusnya saya bisa memanfaatkan kesempatan, ketika menjadi ketua umum di suatu organisasi. Tapi lagi-lagi gagal. Tapi saya tidak menyerah.
Saya mengenal banyak kawan yang memiliki kemampuan bicara yang mampu menghipnotis banyak orang. Ketika ia berorasi, semua orang terpukau dengan penyampaiannya. Ia berdiri di podium, suaranya menggelegar, memecah keheningan, gerakan tangannya menegaskan apa yang sedang ia sampaikan. Hingga pendengar pun merasa takjub, retorikanya membahana di udara, semua telinga mendengarkan dengan jernih kata demi kata yang keluar dari mulutnya. Setelah menyudahi, ia mendapatkan tepu tangan yang riuh dari semua pendengarnya.
Namun demikian, selama bejibung  di alam organisasi kemahasiswaan. Saya menemukan banyak karakter, dan ternyata kemampuan retorika bukan satu-satunya dibutuhkan, walaupun itu cukup penting. Dari pengalaman itu, saya mencoba merumuskan beberapa hal yang menjadi pembeda antara satu dengan yang lain.
Pertama, ada yang memiliki retorika yang mumpuni dan cukup diandalkan untuk meyakinkan orang lain dalam menyampaikan tujuan kegiatan. Tapi kadang kala, diantara sosok seperti ini tidak mampu mengejawantahkan yang ia sampaikan sendiri. Ia mampu mengurai benang merah suatu kegiatan secara runut, sistematis, namun ketika saat melaksanakan hasil kesepakatan, kadang sosoknya tidak mampu menunjukan batang hidungnya. Ia hanya sebagai konseptor tapi miskin tindakan.
Kedua, ada karakter yang puasa bicara selama diskusi dan musyarawah. Ia menikmati jalannya diskusi tanpa mengeluarkan sepotong ide sekalipun, ia hanya sesekali meneguk kopi hitam di tempat diskusi. Namun, sosok seperti ini sangat sigap ketika diberikan kesempatan untuk melaksanakan hasil keputusan bersama dalam suatu rapat. Sosoknya menjadi penting, ketika yang lain miskin action, ia hadir tepat waktu menindaklanjuti segala apa yang bisa dilakukan.Â
Bahkan saking semangatnya, kadang tanggungjawab yang dibebankan kepada pihak lain diborong semua olehnya. Tapi ketika diminta untuk memaparkan hasil kerjanya pada saat rapat evaluasi, malah yang lain ditunjuk untuk mewakilinya. Ia hanya bisa bekerja, tapi tidak tertarik memaparkan hasil kerja secara lisan. Sosok seperti ini kaya action tapi miskin retorika.
Ketiga, karakter yang ketiga ini merupakan tipe pribadi yang hanya datang mengkritik, menghujat dan bahkan menyalakan. Ia hadir membuat air berkeruh, tanpa perlu memandang pentingnya air jernih untuk bisa memetakan persoalan agar mendapatkan solusi bagi kepentingan bersama. Keberadaanya dianggap tidak dibutuhkan, bahkan, ketidak hadirannya dapat melegahkan bagi semua pihak.
Ia menguasai forum, membatah gagasan lawan, menolak masukan, baginya tidak ada yang benar, semua salah dan harus merasa bersalah. Idenya lah dianggap paling benar, dalam pandangannya tidak ada solusi yang paling baik, kalau bukan lahir dari pemikirannya.Â
Ia mampu menguraikan banyak konsep, teori, walaupun tidak ada satu judul buku pun yang pernah ia baca, ia hanya pernah mendengar dari seniornya, dari lawan-lawan diskusinya, lalu ketika mendapat kesempatan berbicara, ia tumpahkan semua tanpa tahu apakah itu relevan dengan topik yang sedangkan dibicarakan. Tidak terlalu penting apakah orang lain merespon atau tidak, baginya aktualisasi lebih penting dari segala-gala-Nya.
Keempat, tipe yang keempat ni merupakan sosok yang hampir mendekati kata sempurna. Ia tidak saja kuat dalam mengkonsep suatu kegiatan, tapi mampu merangkul yang lain, selain telaten, namun juga mampu dalam mengejawantahkan semua kesepakatan.Â
Kehadirannya seperti oase di gurun sahara. Ia menjadi embun penyejuk bagi kemaslahatan bersama. Ia rela berkorban, jangankan waktu, tenaga, bahkan uang belanjanya pun selalu menjadi solusi setiap dibutuhkan. Tipe seperti ini memiliki dedikasi, integritas yang cukup mumpuni bagi jalannya roda organisasi. Ketiadaanya dalam suatu kegiatan menjadi petaka bagi kelangsungan lembaga. Sosoknya akan selalu dirindukan, karena ia mampu membuka peta jalan bagaimana menjadi pribadi yang memiliki loyalitas bagi keberlangsungan lembaga. Tapi sosok seperti ini sangat langka, dan sukar untuk dicari padanannya. Ia tetap menjadi intan permata walaupun di kubangan sekalipun.
Kelima, tipe ini hanya peramai saja dalam kegiatan apapun, datang tanpa diundang pergi pun tanpa di antar. Ia tidak mengambil pusing dalam setiap kesulitan yang menimpa anggota lembaga, baginya ia hanya hadir untuk menambah ramai-Nya suatu kegiatan. Ia tidak mau pusing dengan  debat di dalam diskusi, tidak mau merasa terbebani terhadap kendala, serta hanya datang dan berlalu begitu saja tanpa pernah berpikir untuk mengambil bagian dari urusan-urusan lembaga.Â
Baginya, hidupnya untuk dirinya sendiri, bahkan  kadang kala ia menjadi benalu bagi pihak lain, ketika kehabisan bensin motor pulang dari kegiatan, maka ia sesegera mungkin menghubungi panitia kegiatan. Ia ingin diperhatikan, tapi tidak punya waktu memperhatikan kepentingan bersama. Ia datang disebuah kegiatan hanya untuk berfoto-foto, lalu dipajang di dinding Facebook-Nya, dan merasa bangga ketika mendapat like dan komentar dari pihak lain. Lalu dengan  semangat menjelaskan secara spontan dengan versinya sendiri, seolah dialah yang menjadi ujung tombak dalam kegiatan yang sedang ia jelaskan. Pada hal itu hasil imajinasinya sendiri, hanya karena ingin  mendapatkan pengakuan dari pihak lain.
Keenam, tipe yang terakhir ini merupakan sosok yang ingin selalu belajar. Ia menempatkan dirinya sebagai orang yang tidak tahu, sehingga dengan pandangannya yang demikian membuatnya terdorong untuk terus dekat dengan orang-orang hebat. Ia sering bertanya, dan ketika diskusi pun akan memberanikan diri untuk menyampaikan sesuatu, tanpa harus pusing apakah di setujui atau tidak.Â
Dia memandang semua orang sebagai guru, baginya semua orang punya pengalaman-pengalaman hebat, yang bisa menggugah siapapun. Sehingga ia akan menyempatkan banyak waktu untuk mendengarkan ketika orang lain berbicara kisah-kisah yang menginspirasi. Ia memilih diam, tapi serius mendengarkan.
Sekarang kita berada pada posisi yang mana dalam kehidupan ini, ketika bergabung dalam organisasi. Nampaknya saya berada pada posisi yang terakhir, karena sampai detik ini saya merasa tidak memiliki pengalaman yang mumpuni, yang bisa dikisahkan kepada banyak orang. Saya sedang belajar menjadi murid bagi semesta, saya ingin mengambil intisari dari pengalaman banyak orang yang saya temui, agar bisa melangkah ke depan dengan penuh keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H