SESUATUÂ yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, kini kembali terulang. Sejak memutuskan merantau sejak 2006 silam, saya hampir jarang mengawali puasa di kampung bersama keluarga. Selebihnya banyak menjalani puasa di perantauan, dengan menjalani hari-hari penuh kerinduan kepada kampung halaman.
Tidak perlu bertanya apa yang saya rasakan ketika menjalani puasa di kampungnya orang. Suasana, menu makanan, adalah dua hal yang mencolok yang saya rasakan ketika menjalani hari-hari di bulan puasa ketika jauh dari orang tua. Apa lagi ketika saat-saat makan sahur, di perantauan saya tidak merasakan suguhan menu makanan ibu, tidak dibangunkan kala terlelap tidur, Â dan tidak leluasa memilih makanan yang di senangi kala dihidangkan pada saat berbuka.
Setelah sekian tahun merantau, saya ingin pulang kampung dan ingin banyak menghabiskan waktu bersama keluarga terlebih orang tua, apa lagi di bulan puasa.Â
Ketika mendengar suara adzan, suara ngaji dari speaker masjid, serasa ingin segera di kampung. Bergabung dengan sanak saudara, bercengkrama sejenak sebelum buka puasa dan menghadap kiblat.
Dulu ketika masih di Kota Angin Mamiri (Makassar), saya merindukan buka puasa bersama dengan keluarga setiap tahunnya. Waktu itu saya tidak memiliki banyak kesempatan untuk menyapa keluarga ketika bulan puasa tiba, tugas kuliah selalu menjadi batu sandungan yang menahan keinginan saya untuk kembali ke kampung halaman.
Sebelum memutuskan berpijak di perantauan, setiap hari selalu buka puasa bersama dengan segenap keluarga. Setiap sore ibu selalu membuatkan kolak, cendol, kadang serabih, untuk  menu buka puasa.Â
Dua jam sebelum informasi berbuka dari suara marbot di spiker masjid, ibu sudah sibuk di dapur. Menyiapkan segalanya, dapur mengepul, membumbung tinggi di langit-langit rumah, seolah ingin mengabarkan bahwa tidak lama lagi buka puasa akan tiba.
Kolak buatan ibu paling terasa nikmat jika saya bandingkan dengan yang saya beli pada penjual yang biasa melintas di depan rumah. Bahkan saking nikmatnya, jika  masih ada di priuk, biasanya kami anak-anaknya berebutan untuk menghabiskannya setelah sholat taraweh. Tapi hal itu tidak dirasakan ketika saya memutuskan untuk berada di pulau seberang. Saya hanya bisa merindukan kebersamaan itu.
Â
Puasa merupakan titah tuhan yang wajib dijalankan, harus, ya harus tanpa ada kompromi. Jika sekolah, kampus, instansi bisa diliburkan karena cengkraman virus Corona, lain halnya dengan bulan puasa, bulan yang lebih baik dari semua bulan, termasuk bulan di langit sana.
Di bulan puasa, hamba yang esa melatih diri untuk menjalani hari untuk tidak makan, minum, menjaga sahwat, serta dianjurkan untuk bertafakur kepada sang khalik selama sebulan penuh. Bulan ini, bulan yang penuh berkah bagi kami umat muslim, dimana rahmat tuhan  ditumpahkan, dialamatkan kepada hambanya yang taat, patuh serta hanya bersandar kepadanya.
Kemarin malam ibu menelpon, bertanya kapan pulang, kapan urusan selesai. Ibu mengkhawatitkan hari-hari yang saya jalani di perantauan, apa lagi urusan makan selama bulan puasa. Ibu menyarangkan kalau urusan sudah clear, agar saya segera angkat kaki dan pulang kampung.
Urusan saya di kota ini memang belum selesai, bahkan tidak bisa wakilkan kepada malaikat sekalipun. Beginilah kalau bekerja menjadi pengabdi negara, kita dituntut untuk patuh melaksanakan perintah. Jika tidak, akan dianggap tidak bertanggung jawab, mengabaikan tugas, dan pengabai terhadap intruksi atasan.
Pada bulan puasa ini, bahkan bahaya virus Corona terus mengintai tak lantas kerja-kerja lembaga ikut diliburkan. Semua harus berjalan, bagaimanapun caranya, karena ini mengenai nasib anak bangsa. Saya pun patuh, mengikuti semua arahan. Sebab ini konsekuwensi atas pilihan yang saya ambil tiga tahun yang lalu. Dari kampung pekan lalu, saya kembali ke kota ini untuk menuntaskan tanggungjawab yang saya emban.
Di sini, saya hanya bisa berharap untuk segera kembali pulang dan menjalankan puasa dengan penuh hikmad dengan orang tua di pulau seberang sana. Jika di kampung sembari menunggu buka puasa, saya bisa kembali memulai aktifitas yang saya senangi. Ke pantai kala sore menyapa, memotret perahu nelayan sembari menikmati lembayung senja, menikmati mega-mega di ufuk barat, dan ketika malam menyambut, saya bisa berkumpul bersama para sahabat setelah menuntaskan sholat taraweh.
Â
Semoga semua urusan selesai dalam waktu dekat, dan saya akan kembali dengan harapan menyapa semesta. Apakah itu akan terwujud? Kepada Allah-lah saya serahkan segalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H