Erwin tidak sendiri, ada banyak kawan-kawan eks sekolah tinggi yang kembali menjadi petani, nelayan dan bahkan menjadi pedagang. Tapi, saya mengenal beberapa nama, ia sukses menjadi seorang pedagang walaupun tamatan sekolah tinggi ternama di Makassar.Â
Ia memilih menjadi orang 'bebas' dari pada diatur cukup ketat oleh instansi seperti kebanyakkan teman-temannya yang lain.Â
Pergi pagi pulang siang, dengan gaji honor yang kadang tidak menggembirakan. Ia tidak menyalahkan pilihan siapapun, semua orang punya hak atas dirinya, dan memutuskan untuk menjadi seperti apa.
Menjadi seorang sarjana tidak selamanya harus menjadi abdi negara. Menjadi petani, nelayan, bahkan menjadi pedagang dengan implementasi ilmu yang diemban ketika bergelut dengan buku selama masa kuliah, akan memberikan arti penting ketika berada di tengah-tengah masyarakat.Â
Sarjana bukan sekedar gelar, tapi sikap dan laku yang memberikan manfaat terhadap banyak orang. Bukankah tuhan bertitah, bahwa manusia yang baik adalah manusia yang memberikan manfaat bagi orang lain.
Dari Erwin, saya mengambil pelajaran, bahwa kehidupan di kampung tidak kalah menantang jika dibandingkan di tanah perantauan. Semua punya medannya sendiri, selebihnya bagaimana menyikapi serta menjalaninya.Â
Di era kekinian, jika ingin maju dan berkembang tidak bisa lagi menjadi anak Mama, semua orang harus menguatkan komitmen untuk bisa lebih baik dari hari ke hari. Karena ombak kehidupan akan menggulung setiap setiap saat, jika tidak mampu membaca ritme akan terhempas ke dasar karang.Â
Sebab, pelaut yang ulung bukan, lahir dari ombak yang tenang. Tapi mampu membaca tanda-tanda alam, menyesuaikan irama ombak, dan melaju kencang dalam desiran angin kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H