Di kampung, mendaki gunung bukan hanya mengambil kayu bakar, tapi juga mengambil buah lokan, dalam bahasa Mbojo disebut loka, sedangkan dalam bahasa latin Annonaceae.
Kali ini saya dan beberapa anak muda di kampung memutuskan untuk mencari dan mengambil buah lokan. Kami berangkat sekitar pukul 09:35, dengan mendaki gunung di samping kampung.Â
Jalan yang menanjak harus kami lewati, mulai dari kaki gunung hingga sekitar satu setengah kilo meter baru sampai di tanah datar di atas gunung.
Sesekali kami harus singgah sambil mendongak ketika menjumpai pohon lokan, karena beberapa pohon lokan biasanya menjalar ke batang pohon yang lain dan kadang buah menggantung dan bersembunyi di antara dedaunan. Tapi jika buah lokan yang sudah matang cukup mudah dikenal, karena warnanya kemerahan. Berbeda dengan yang belum matang, buahnya masih hijau seperti daun dan pohonnya
Belakangan ini geliat orang tua, muda dan bahkan anak-anak di kampung yang mencari lokan di atas gunung cukup mudah dijumpai, bahkan hampir setiap hari mereka mendaki gunung.Â
Di atas gunung, kadang kala berpapasan dengan orang-orang di kampung sebelah dalam mencari lokan, bahkan saling bersahutan satu sama lain.
Setelah beberapa menit, kami mencoba menyusuri jalan setapak yang masih dipenuhi semak belukar. Nampaknya kami cukup beruntung kali ini, beberapa pohon lokan yang kami temui langsung menyuguhkan beberapa buahnya untuk kami petik.Â
Buahnya menggantung di beberapa pohon yang lain, karena menggantung cukup tinggi memaksa kami harus menaiki beberapa batang pohon yang dekat dengan buah lokan, agar mudah dipetik.
Ada pohon lokan yang mudah dijangkau buahnya, ada pula yang sulit karena terlalu tinggi, sehingga sangat berisiko jika dipaksakan untuk mengambilnya. Sehingga ada beberapa pohon yang buahnya sudah matang, kami biarkan karena tidak mudah dijangkau.
Sebelum menjamah ke beberapa titik yang lain, kami sejenak istirahat sambil menikmati buah lokan yang sudah kami petik. Karena dipetik langsung dari pohonnya, rasanya sangat manis. Kadang berbeda rasanya yang dijual di pasar karena biasanya sudah tidak segar lagi. Bahkan rasanya, nggak terlalu manis.Â
Jangan bertanya medan yang kami lewati, sesekali kami melalui bebatuan besar dengan lubang-lubang yang menganga di beberapa titik, sehingga buluh kuduk kadang merinding karena takut ada ular di dalamnya. Bahkan kulit kami tergores dengan mudah, karena sesekali melewati pohon-pohon berduri.
Ini bukan seberapa banyak buah lokan yang bisa kami ambil, tapi perjuangan untuk mendapatkannya yang memberikan banyak pelajaran.Â
Buah lokan bisa saja kami beli di pasar hanya dengan lembaran rupiah, namun dengan mengambilnya sendiri di atas gunung, dengan segala daya perjuangan yang dilewati, memberikan arti dan maknanya tersendiri. Bahwa hidup memang sebuah perjuangan, dan hasil dari sebuah perjuangan di mana ada tetes keringat di dalamnya, itulah yang terpenting
Sesampainya di puncaknya gunung, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Di atas gunung pandangan kami menyapu semesta.Â
Viewnya sangat indah, angin sepoi menyapu dedaunan menambah suasana terasa harmoni. Sungguh mempesona ciptaan ilahi, menghadirkan kekaguman yang tak henti dari kami yang menikmatinya.
Teluk Cempi serta kampung serasa kecil dari kejauhan. Bentangan sawah yang menghijau dengan petakan yang rapi menambah pesonanya semesta.
Lokan yang kami ambil kali ini cukup untuk dibagikan kepada orang-orang di kampung, selebihnya untuk di konsumsi sendiri. Tas yang kami bawa, sudah dipenuhi dengan buah lokan yang kami petik sejak tadi pagi, sedangkan beberapa buah lokan yang belum benar-benar masak, kami biarkan bersama pohonnya.
Dari kejauhan kami menyaksikan hujan cukup lebat menyirami padi dan jagung warga yang ditanam di lereng gunung sebelah. Karena khawatir kehujanan, kami memutuskan untuk segera turun, dengan melalui celah pohon yang terlihat seperti jalan.Â
Kami bergegas dengan cepat karena rintik hujan mulai terasa membasahi punggung. Kami seperti berlari menuruni punggung gunung, sesekali kami kesasar, salah arah, kehilangan jalan pulang tapi syukur kami bukan Ayu Ting-ting yang salah alamat.
Walaupun jalan pulang terlihat mudah, namun kami harus benar-benar berhati-hati, karena salah berpijak, bisa saja kaki keseleo dan terjatuh. Potongan kayu dan bebatuan di sepanjang jalan, bisa menjadi batu sandungan yang membuat kami tersungkur.
Walaupun kami turun di jalan yang lain, namun sampai pula kami di rumah dengan selamat. Sesaat setelah sampai, hujan pun turun dengan derasnya membasahi tanah, menyuburkan tanaman, menghijaukan bumi. Semesta tersenyum, petani pun gembira ria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H