Gardu berasal dari bahasa Prancis yakni garde. Di Indonesia gardu pertama kali di bangun dan dikenal pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1805-1811). Pada masa pemerintahannya, Daendels membangun jalan dari Anyer hingga Panarukan. Sepanjang jalan inilah di tempat-tempat tertentu dibangun tempat peristirahatan bagi pengguna jalan sebelum sampai ke tujuan. Tempat untuk istirahat tersebutlah kita kenal hari ini dengan gardu.Â
Namun, seiring pergantian zaman, Â gardu memiliki fungsi yang berbeda. Di zaman Soeharto gardu dijadikan sebagai tempat mengintai orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban. Tapi pasca reformasi, gardu digunakan oleh salah satu partai politik untuk menampilkan simbol partai. Dengan demikian gardu dicet dengan warna partai dengan gambar kepala banten dan menempatkannya di berbagai sudut-sudut kampung.
Tentang gardu, saya teringat  buku Abidin Kusno tentang Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa. Dalam uraiannya gardu menjadi medium visual yang melaluinya ingatan-ingatan kolektif dibentuk dan ditransformasikan melintasi tatanan-tatanan historis yang berbeda.
Gardu telah memainkan peranan yang cukup penting dalam tarik ulur dinamika sosial kemasyarakatan. Dimana keberadaan gardu sebagai tempat publik di perkampungan sangat memiliki nilai strategis. Tidak hanya sebagai tempat berkumpul, juga bisa menjadi tempat istirahat bagi orang-orang yang melakukan sebuah perjalanan jauh. Mereka bisa duduk sesaat sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan.
Gardu menyimpan memori kolektif masyarakat. Sebab, di gardu mereka menyimpan banyak kisah, kenangan, topik, serta nuansa persahabatan. Ia tidak saja simbol keamanan dan ketertiban, tapi juga penghubung bagi solidaritas kemasyarakatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H