TERKADANG dalam menjalani kehidupan, seseorang ingin seperti orang lain, baik menyangkut jabatan, kekayaan, karir dan seterusnya. Agar bisa sama seperti orang lain, seseorang melakukan apa saja agar inginnya terwujud.
Seorang remaja milenial ingin sekali mirip seperti artis Korea yang selalu di lihatnya di layar kaca. Ia belajar bahasanya, makanannya, terlebih penampilannya. Ia akan merasa percaya diri jika benar-benar meniru artis kesayangannya. Bahkan sebaliknya ia akan merasa minder jika membandingkan dirinya yang tidak seperti yang ia lihat.
Sepintas memang biasa-biasa saja. Namun, jika di lihat lebih jauh, bukankankah ini merupakan tipe generasi yang alay. Generasi yang keropos secara mental, karena terlalu mendewakan yang datang dari luar. Fenomena seperti ini banyak kita jumpai pada era milineal ini.
Dari sisi penampilan ada banyak generasi bangsa hari ini yang merasa bangga dengan penampilan ala barat, dengan dalih moderen. Hampir semua yang diimpor, mulai dari urusan makanan yang dibumbui dengan bahasa asing sampai masalah penampilan dianggap simbol kemajuan. Sebaliknya, generasi kita menganggap bahwa yang dimiliki bangsa ini dianggap kuno dan ketinggalan zaman, kalau tidak mau di bilang masih primitif.
Nampaknya bangsa ini tidak cukup kuat untuk menfilter informasi yang berseliweran di media, yang dengan mudah di konsumsi oleh generasi bangsa. Hal ini merupakan ancaman serius bagi mental anak bangsa, tidak saja saat ini tetapi juga di masa mendatang.
Di sisi yang lain, mental berbangsa kita kadang kala jauh lebih mudah menjustifikasi seseorang hanya karena di lihat dari penampilannya. Kalau ada laki-laki yang rambutnya panjang disertai dengan tato di lengan, sangat mudah kita memberikan label negatif pada orang tersebut. Apa lagi melihat seorang perempuan yang merokok lalu tato memenuhi sekujur badannya, maka dengan mudah publik negeri ini menyebutnya perempuan nakal.
Bangsa ini memang dikenal dengan bangsa yang selalu menjaga dan menjunjung tinggi nilai moral, etika, serta aturan sosial dan agama yang mulia.
Namun, apakah orang yang kelihatan penampilannya ala Ustadz, menjamin bahwa ia adalah sosok yang suci dan berwibawa. Mungkin dari sisi penampilan ia kelihatan seperti orang yang tak berdosa, namun belum tentu dalam aspek kejujuran, integritas serta konsisten dalam menjalankan tita tuhan dalam hidupnya.
Orang bilang janganlah menilai buku dari sampulnya. Artinya seseorang jangan semata-mata diukur dari penampilannya, bisa saja seseorang tampilannya ala preman pasar, tapi memiliki welas kasih kepada sesama. Demikian pula dengan orang kelihatan bernampilan ala direktur penuh necis dan berdasi, namun bisa saja sering meraip uang kantor.
Oleh karena itu, penampilan bukanlah satu-satunya ukuran untuk mengukur kepribadian orang lain. Tapi tindakkan, ucapan, yang berlandaskan keluhuran hati yang terdalam merupakan hal yang paling utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H