SEBUT saja namanya Mahmud M. Amin, lahir 1951 keturunan Bugis Bone, Sulawesi Selatan. Meninggalkan kampung halamannya di tanah Daeng dan melalang buana hingga berlabuh dan menetap di Desa Jala hingga kini.Â
Dae To'o begitu ia biasa dipanggil, dengan umurnya yang sudah tidak muda lagi menguraikan lembaran-lembaran masa lalunya ketika saya berjumpa dengannya di bale di dekat pantai Desa Jala, Sabtu, 28/03/2020.
Sambil mengisap rokok kretek di tangannya, dengan semilir angin laut di sore hari dan temaramnya senja, saya begitu terkesima dengan pengalaman masa lalunya yang penuh haru biru. Lahir di pulau seberang yang cukup jauh, lalu memutuskan mengembara sampai ke Bumi Nggahi Rawi Pahu, merupakan perjalanan hidup yang dipilihnya puluhan tahun yang lalu.Â
Sebelum menetap di Desa Jala, ia pernah tinggal 15 tahun di kelurahan Doro Ngao Kabupaten Dompu. Pengembaraanya di ruang-ruang samudra menjadi seorang nelayan, membawanya hingga ke titik terjauh dari tanah kelahirannya.Â
Ia tidak pernah mengenal bangku sekolah, tidak mengenal bagaimana seorang guru menerangkan di depan kelas dan tidak pernah mengenakan pakaian rapi, dan pagi-pagi berpacu dengan waktu hanya untuk mengikuti ujian nasional.
Laut merupakan medium besar yang menjadi tempatnya mengenal dunia. Dengan berlayar membela lautan, angin laut menusuk kulit, ikan berpacu dengan perahu, dan pasir putih di berbagai daratan yang disinggahinya membuatnya mengenal banyak tempat dengan budayanya yang berbagam.Â
Namun, ia masih ingat dengan jelas kampungnya yang nan jauh di sana. Kampung dimana melahirkan banyak orang-orang pemberani, orang-orang hebat dan penjelajah samudra sampai mampu menjamah bibir pantai di Australia sana.Â
Panggilan Dae yang melekat dalam dirinya, menunjukan identitasnya sebagai orang Bugis Makassar walaupun sudah berpijak di tanah rantauan. Ia tidak melupakan begitu saja warisan nenek moyangnya, tatapannya mengarah ke laut, pikirannya mencoba menelusuri jejak silam tentang kerinduannya akan kampung halamannya.Â
Dae To'o satu dari sekian orang Bugis Makassar yang memilih dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.Â
Saya tidak pernah meragukan sedikitpun keberanian mereka-mereka yang lahir tanah Bugis Makassar dalam menjelajah ruang-ruang Samudra. Sangat banyak literatur yang menguraikan banyak kisah-kisah heroik dari mereka yang bergumul dengan lautan. Sehingga hari ini kita mengenal pasar Bugis di Singapore, kerajaan-kerajaan besar seperti Johor, Perlak, Patani di tanah Melayu. Menunjukan kedigdayaan mereka di lautan, dan ikut mendirikan kerajaan-kerajaan besar di tanah seberang.Â
Dengan bahasa Indonesia-Nya yang terbata-bata, saya mencoba memahami dan menyelami lipatan masa lalunya yang begitu inspiratif. Lalu sejurus kemudian saya meluruskan cara duduk saya ketika Dae To'o meramal tentang masa depannku.Â