Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kisah Hebat Seorang Nelayan Desa Jala

29 Maret 2020   13:19 Diperbarui: 29 Maret 2020   13:29 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Bersama Pak Teta Nelayan Desa Jala

KETIKA senja temaran di langit sore, saya melajukan motor untuk menyambangi Desa Jala. Untuk sampai ditempat tujuan, saya harus menempuh perjalanan sekitar dua kilometer dengan menyusuri jalan yang di kiri kananya terhampar persawahan warga yang cukup luas, dan menghijau.
Perjalananku kali ini cukup menyenangkan, setelah sekian tahun tidak pernah menyambangi desa yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya di laut. Kini, dengan memanfaatkan musim libur karena cengkraman coronavirus dimana-mana, saya meluangkan waktu untuk menghirup udara sore di Desa Jala.

Selama perjalanan, saya bisa melihat burung-burung yang terbang menari-nari di udara, seakan ingin mengatakan kepadaku bahwa hidup di kampung, sesama mahluk ilahi kita bisa berbagi tempat untuk hidup. 

Sesampainya di pantai, terlihat beberapa nelayan, ada yang sedang mendorong perahu ke laut, ada yang membawa peralatan penangkapan, ibu-ibu menenteng makanan untuk suaminya yang akan berlayar, dan bahkan ada yang sedang membersihkan jaring.
Perahu nelayan berderet yang ditambatkan di dalam air berjoget karena ayunan ombak, beberapa di antaranya terikat kuat di atas pasir yang diikatkan pada salah satu batu.
Setelah kuparkirkan motor, saya melangkah mendekati beberapa perahu nelayan sambil mengabadikan moment dengan mengambil gambar menggunakan handphone mungilku. Setelah terasa cukup beberapa jebretan,  saya memberanikan diri melangkah menuju ke salah satu perahu yang tidak jauh dari tempatku berdiri.

Seorang nelayan bernama Salahuddin Muhdar, sedang sibuk membersihkan jaring di perut perahunya. Melihat kedatanganku ia tidak merasa terusik. Tangannya terus menari-nari menarik jaring, sambil menarik ikan-ikan kecil yang nyakut di jaringnya, lalu dibuangnya digenangan air samping perahu.
Saya mencoba mendekatkan jarak duduk dibadan perahu dan membuka pembicaraan. Melihat saya mendekat ia tersenyum tipis, tanpa ada gestur mencurigakan.

Setelah mengajaknya ngobrol dengan diawali beberapa pertanyaan, tentang kehidupannya sebagai seorang nelayan.
Dengan tenang ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, sambil tangannya tetap terus menarik jaring dimasukan ke dalam karung. Kelihatan tangannya sangat cekatan membersihkan jaring. Tangan yang sudah tidak semulus dan seputih kala ia pertama kali mengenal dunia, tangan yang memberi kehidupan bagi kelangsungan hidup keluarganya, dan tangan yang mengukir kisah perjalanan hidupnya menjadi seorang yang berani menghadang ombak di tengah lautan.

"Ya, inilah aktifitas menjadi seorang nelayan ananda, kalau belum berlayar menangkap ikan, kita bersihkan jaring, memperbaiki perahu, dan memastikan semuanya baik-baik saya," Jawabnya

Hidup menjadi seorang nelayan adalah pilihan yang diambilnya sejak ia belum masuk di usia remaja, ia memumuk keberanian sejak kecil, dimana kebanyakan teman seusianya ketika itu hanya berani bermain pasir bibir pantai. Ayahnya menjadi pengatur irama hidupnya di masa itu, ia sering diajak untuk bersahabat dengan udara dingin di malam hari, ketika menjaring ikan di tengah laut. Di tengah laut, Ia bisa menyaksikan bintang-bintang yang bertebaran di langit, cahaya dari kejauhan ikut disapu oleh pandangan-Nya.

Pengalamannya waktu itu menjadikan lembaran demi lembaran hidupnya penuh dengan tinta yang mengharu biru tentang dirinya dan laut.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri

Teta, begitu ia biasa dipanggil oleh masyarakat Desa Jala, terlebih sesama nelayan. Dalam penuturannya bahwa Ia salah satu nelayan yang telah menghabiskan sebagian umurnya untuk berlayar mencari ikan di tengah laut.

Menjadi nelayan sejak 1993, membuatnya begitu paham tentang semua hal yang berkenaan dengan hiruk pikuk kehidupan menjadi nelayan.
Baginya  menjadi nelayan merupakan sesuatu pilihan yang menyenangkan, bukan karena terpaksa, bukan  karena dipaksa, bukan  karena hasilnya cukup menjanjikan untuk kehidupan keluarga dan juga bukan  karena pernah mendengar lagu nenek moyangku seorang pelaut di layar kaca.

Menjadi seorang nelayan yakni memilih mendidikasikan hidupnya dengan tidak jauh dari memperbaiki jaring, membersihkan-Nya, menyimpannya di tempat yang semestinya, kemudian mendorong perahu, menambatkannya, serta merawatnya supaya kelak anak cucuh menjadi saksi bahwa ia adalah seorang nelayan sejati.

Ia adalah seorang ayah dari anak-anak yang kini menikmati jeri payahnya menjadi seorang nelayan, dan seorang suami yang berusaha memastikan dapur terus mengepul serta kebutuhan rumah tangga yang tidak pernah absen.
"Biasanya pendapatan tidak menentu, kadang jutaan, kadang ratusan, sangat tergantung berapa banyak tangkapan serta cuaca. Kalau bulan Januari sampai Maret jarang nelayan yang pergi melaut, karena cuaca di bulan-bulan ini sangat tidak bersahabat, ya terjadi musim panca roba," Imbuhnya.

Dengan umurnya yang ke 75 tahun, ia belum terpikir untuk berhenti melaut. Ia bukan seperti seorang pesepak bola, yang langsung menggantungkan sepatu atau pensiun jika umur sudah menua.

Baginya, berlayar ke tengah lautan dengan menjaring ikan adalah hal yang menyenangkan, terlebih jika berlayar bersama dengan yang lain. Mereka bisa saling menyahut, meneriakkan kapan jaring dilepas, kapan harus kembali menepi dan kapan menentukan titik dimana pelayaran harus berhenti. 

Walaupun pernah mengenal bangku sekolah di tahun 1993, dengan menimba ilmu di sekolah perikanan, dan sekolah pendidikan keperawatan di kota Bima yang tidak diselesaikannya. Namun, pengalamannya menjadi seorang nelayan lebih mewarnai perjalanan hidupnya hingga kini.

Dokpri
Dokpri

Dokpri
Dokpri

Ia bahkan beberapa kali berlayar sendiri ke tengah lautan tanpa ada yang temani. Dengan perahu miliknya ia bisa berangkat sore, dan kembali menambatkan perahunya setelah badaah isya. Tapi terkadang bermalam di tengah laut dan pulang keesokkan harinya setelah membawa perbelakan yang cukup selama berlayar.
Tapi bagi nelayan yang menggunakan perahu orang lain, diterapkan proses bagi hasil. Mereka mendapatkan upah berdasarkan kesepakatan dengan yang empuhnya perahu.
Teluk Cempi merupakan medium besar dimana Teta dan puluhan nelayan Desa Jala lainnya menaruh harapan semoga tetap melimpahkan kemaha murahan bagi kelangsungan hidup para nelayan. 

Pada Teta, saya melihat sosok laki-laki pejuang, laki-laki yang komitmen, konsisten serta loyal terhadap profesinya sebagai seorang nelayan. Ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk bercumbu dengan lautan yang penuh dengan kemaha murahannya terhadap dirinya serta puluhan nelayan lainnya.
Padanya saya belajar nilai sebuah pengorbanan dalam sebuah perjuangan, tanggung jawab dan pantang menyerah dalam mengarungi rimba raya kehidupan.
Ia menjadi nokta kecil dalam lipatan sejarah masyarakat nusantara yang jutaan tahun lamanya bergumul dengan lautan.
Sebelum mengakhiri obrolan, saya mememinta kesediaan Teta untuk berfoto bersama dengan duduk diperahunya. Iapun mengangguk, dan kamipun masuk camera. 

Desa Jala, 28 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun