KETIKA senja temaran di langit sore, saya melajukan motor untuk menyambangi Desa Jala. Untuk sampai ditempat tujuan, saya harus menempuh perjalanan sekitar dua kilometer dengan menyusuri jalan yang di kiri kananya terhampar persawahan warga yang cukup luas, dan menghijau.
Perjalananku kali ini cukup menyenangkan, setelah sekian tahun tidak pernah menyambangi desa yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya di laut. Kini, dengan memanfaatkan musim libur karena cengkraman coronavirus dimana-mana, saya meluangkan waktu untuk menghirup udara sore di Desa Jala.
Selama perjalanan, saya bisa melihat burung-burung yang terbang menari-nari di udara, seakan ingin mengatakan kepadaku bahwa hidup di kampung, sesama mahluk ilahi kita bisa berbagi tempat untuk hidup.Â
Sesampainya di pantai, terlihat beberapa nelayan, ada yang sedang mendorong perahu ke laut, ada yang membawa peralatan penangkapan, ibu-ibu menenteng makanan untuk suaminya yang akan berlayar, dan bahkan ada yang sedang membersihkan jaring.
Perahu nelayan berderet yang ditambatkan di dalam air berjoget karena ayunan ombak, beberapa di antaranya terikat kuat di atas pasir yang diikatkan pada salah satu batu.
Setelah kuparkirkan motor, saya melangkah mendekati beberapa perahu nelayan sambil mengabadikan moment dengan mengambil gambar menggunakan handphone mungilku. Setelah terasa cukup beberapa jebretan, Â saya memberanikan diri melangkah menuju ke salah satu perahu yang tidak jauh dari tempatku berdiri.
Seorang nelayan bernama Salahuddin Muhdar, sedang sibuk membersihkan jaring di perut perahunya. Melihat kedatanganku ia tidak merasa terusik. Tangannya terus menari-nari menarik jaring, sambil menarik ikan-ikan kecil yang nyakut di jaringnya, lalu dibuangnya digenangan air samping perahu.
Saya mencoba mendekatkan jarak duduk dibadan perahu dan membuka pembicaraan. Melihat saya mendekat ia tersenyum tipis, tanpa ada gestur mencurigakan.
Setelah mengajaknya ngobrol dengan diawali beberapa pertanyaan, tentang kehidupannya sebagai seorang nelayan.
Dengan tenang ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan, sambil tangannya tetap terus menarik jaring dimasukan ke dalam karung. Kelihatan tangannya sangat cekatan membersihkan jaring. Tangan yang sudah tidak semulus dan seputih kala ia pertama kali mengenal dunia, tangan yang memberi kehidupan bagi kelangsungan hidup keluarganya, dan tangan yang mengukir kisah perjalanan hidupnya menjadi seorang yang berani menghadang ombak di tengah lautan.
"Ya, inilah aktifitas menjadi seorang nelayan ananda, kalau belum berlayar menangkap ikan, kita bersihkan jaring, memperbaiki perahu, dan memastikan semuanya baik-baik saya," Jawabnya
Hidup menjadi seorang nelayan adalah pilihan yang diambilnya sejak ia belum masuk di usia remaja, ia memumuk keberanian sejak kecil, dimana kebanyakan teman seusianya ketika itu hanya berani bermain pasir bibir pantai. Ayahnya menjadi pengatur irama hidupnya di masa itu, ia sering diajak untuk bersahabat dengan udara dingin di malam hari, ketika menjaring ikan di tengah laut. Di tengah laut, Ia bisa menyaksikan bintang-bintang yang bertebaran di langit, cahaya dari kejauhan ikut disapu oleh pandangan-Nya.
Pengalamannya waktu itu menjadikan lembaran demi lembaran hidupnya penuh dengan tinta yang mengharu biru tentang dirinya dan laut.
Teta, begitu ia biasa dipanggil oleh masyarakat Desa Jala, terlebih sesama nelayan. Dalam penuturannya bahwa Ia salah satu nelayan yang telah menghabiskan sebagian umurnya untuk berlayar mencari ikan di tengah laut.
Menjadi nelayan sejak 1993, membuatnya begitu paham tentang semua hal yang berkenaan dengan hiruk pikuk kehidupan menjadi nelayan.
Baginya  menjadi nelayan merupakan sesuatu pilihan yang menyenangkan, bukan karena terpaksa, bukan  karena dipaksa, bukan  karena hasilnya cukup menjanjikan untuk kehidupan keluarga dan juga bukan  karena pernah mendengar lagu nenek moyangku seorang pelaut di layar kaca.