KAMI dilahirkan dari rahim orang tua yang menyapa laut setiap saat, memperbaiki jaring kala air pasang, mendorong perahu kala musim tangkapan tiba, dan kami anak nelayan yang suka makan ikan laut, bukan Micdhona.Â
Bagi kami, laut merupakan bagian dari perjalanan hidup kami dan keluarga. Laut menjadi sumber kehidupan orang di kampung, mereka melaut setelah senja turun dan berpaling, dan akan kembali kala mentari sudah meninggi.
Ketika waktu itu tiba, kami berlarian di pantai menyambut para nelayan yang pulang dengan membawa hasil tangkapannya. Kami Menyambut mereka bak pejuang yang pulang dari medan pertempuran. Ya, mereka berjuang menaklukan ombak, menahan dinginnya  air laut, mengarahkan kemudi kala arus mendera, dan mereka pejuang bagi kami anak-anaknya.Â
Pasir membentang, perahu yang ditambatkan, mencari kerang di celah bebatuan adalah tempat kami bermain. Jika senja datang, kami berlarian saling kejar satu sama lain. Kami membangun istana dari pasir, dan dirobohkan seketika oleh air laut yang datang menyapunya tanpa permisi.
Dunia kami adalah dunia yang berbeda dengan mereka yang menganggap dirinya lebih modern, hanya karena mengunjungi mall, lalu berselfi ria dan menganggap dirinya lebih gaul. Bagi kami laut lebih dari cukup sebagai tempat bermain, laut menawarkan keindahan, kemudahan, dan menawarkan kehidupan itu sendiri.Â
Kami anak nelayan yang selalu ceria, selalu punya cerita, punya banyak kisah yang diwartakan kepada semesta. Kami akan sangat senang dan bahagia ketika membawa dan menenteng ikan pemberian nelayan, dan kemudian di masak oleh ibu di rumah.Â
Sebagai bentuk rasa cinta kami terhadap laut, kadang kami enggang mengenakan seragam dan melangkah ke sekolah. Kami akan merasa kegirangan jika mendengar kabar ada perahu yang baru mencium bibir pantai membawa hasil tangkapan semalam. Kami berlarian, berteriak, meloncat pada tali perahu di bibir pantai, lalu ikut mendorong perahu bersama para nelayan ke tepian.Â
Kami nimbrung mengakat ikan, mengakat jaring, menaiki perahu sambil mengharap pemberian segera. Tapi kami tidak pernah khawatir, karena nelayan selalu berbaik hati, walaupun yang didapatkan hanya satu ekor ikan.Â
Jangan pertanya perasaan kami sebagai anak nelayan, kami cukup bahagia karena semesta selalu memberi tanpa imbalan. Kami hanya dituntut menjaganya, merawatnya, membuatnya tetap tersenyum seperti mentari pagi kala menyapa.Â
Tapi  kami begitu sedih, ketika mendengar tangkapan  nelayan mulai berkurang, karena kapal-kapal besar menggunakan jaring yang lebih modern, dan perasaan kami akan terpukul jika mendengar laut dihantam oleh bom, dari tangan para pendosa.Â
Kami tidak perlu diajari bagaimana menjaga laut, dan kami tidak perlu diceramahami bagaimana menjaga keutuhan karang agar tetap terjaga. Sebab, nenek moyang kami telah mewariskan petuah sakti yang diturunkan dari generasi ke generasi bagaimana laut tetap di rawat.Â
Hentikan bualan yang tidak bermanfaat itu, harap kamu tau, laut merupakan sahabat yang baik  bagi kami. Dan laut telah menjadi ladang yang tidak pernah mengeluh, walaupun setiap saat tangan kami menjamahnya.Â
Kami berharap, hentikan pepesan kosongmu itu, jangan ajari kami agar bisa menjaga dan merawat laut dengan baik. Engkau hanya belajar laut dari lembaran buku-buku, Sedangkan kami adalah bagian dari laut itu sendiri. Kami lahir dan dibesarkan dengan suasana laut yang ombaknya selalu memecah tepian.Â
Jika engkau benar-benar menjaga laut, ingin merawatnya, mari genggamlah tangan mungil kami, karena hari ini kami baru melukis cerita di atas pasir walau hilang dihempas sang ombak tapi abadi dalam kalbu.Â
Kenapa bisa begitu?Â
Karena kami anak nelayan yang cinta laut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H