"Nenek moyang orang pelaut, gemar mengarungi luas samudra, menerjang ombak tiada laut, menempuh badai sudah biasa".
Penggalan lirik lagu di atas memberikan penguatan bahwa bangsa kita adalah bangsa Maritime. Bangsa pelaut, yang nenek moyangnya sudah lama mengarungi ruang-ruang samudra. Mereka sudah lama memandang laut sebagai sumber kehidupan, mereka rawat, menjaga dan bersahabat dengan laut. Nenek moyang kita tidak memerlukan kompas kapan harus berlayar, mereka cukup dengan membaca tanda-tanda alam, seperti arus, bintang, awan, angin, serta gunung.Â
Pengetahuan mereka atas ruang-ruang samudra sudah tidak diragukan lagi. Hal itu diakui oleh bangsa Eropa yang pernah menginjakkan kakinya di bumi Nusantara. Tome Pires seorang kebangsaan Portugis dalam bukunya Suma Orental mencatat bagaimana ketangguhan kapal serta perahu bangsa Indonesia dalam mengarungi lautan luas.Â
Desa Jala merupakan satu kepingan di alam nusantara yang sebagian masyarakatnya menggantung hidup dari lautan. Desa Jala yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Kabupaten Nusa Tenggara Barat ini, merupakan salah satu desa Maritim. Desa Maratim merupakan sebuah desa atau kampung yang masyarakatnya memandang dan memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan.Â
Secara geografis Desa Jala berbatasan langsung dengan beberapa Desa lain. Di bagian Timur berbatasan langsung dengan Desa Rasabou, di bagian Utara berbatasan dengan Desa Cempi, bagian Selatan berbatasan dengan Desa Daha, sedangkan bagian Barat berbatasan langsung dengan Teluk Cempi.Â
Desa Jala sendiri merupakan hasil pemekaran dari Desa Rasabou yang merupakan ibu Kota Kecamatan. Pemekaran ini sendiri dilakukan pada tahun 2010, setelah ada inisiatif dari tokoh-tokoh masyarakatnya. Karena Desa Jala dipandang telah mampu mengurus rumah tangganya sendiri, dan bisa mandiri. Setelah persyaratan dipenuhi seperti jumlah dusun, RT/RW dan syarat administrasi lainnya terpenuhi, maka Desa Jala resmi terbentuk.Â
Karena desa maritim, Desa Jala menghasilkan sumber daya laut, seperti ikan, udang, lobster dan jenis ikan lainnya. Hasil laut ini tidak hanya di konsumsi sendiri oleh warga masyarakat, namun juga dijual ke desa-desa tetangga.
Masyarakat Desa Jala menjualnya dengan menggunakan motor, ada juga yang berjalan kaki menyusuri gang-gang di beberapa kampung di desa tetangga. Selain itu, hasil laut ini juga diekspor ke luar daerah seperti Kota Mataram, bahkan ada yang sampai dikirim ke pulau Jawa.
Biasanya setelah bersandar perahu nelayan akan didatangi oleh para pembeli dan juga masyarakat yang ikut membantu mendorong perahu sampai ke tepi pantai. Namun, ada juga nelayan yang menambatkan perahunya di dalam air, terlebih ketika musim melaut belum tiba.Â
Namun demikian, ada juga nelayan sepulang dari melaut membawa tangkapannya ke pihak pengepul. Karena tidak semua nelayan memiliki perahu sendiri, dan mereka biasanya menggunakan perahu pengepul untuk melaut. Sehingga hasil tangkapannya tidak dijual ke tempat lain. Dalam hal ini diberlakukan sistem bagi hasil dengan menghitung semua pengeluaraan, mulai dari solar, awak yang melaut, makanan selama melaut dan seterusnya.Â
Tapi jika tangkapannya tidak memberikan hasil yang memadai. Maka kerugian tidak dibebankan kepada para awak perahu.Â
Namun, ada juga nelayan yang memiliki perahu sendiri. Sehingga tidak perlu bagi hasil dengan yang lain, terkecuali ada pihak yang membantunya selama melaut.Â
Namun tidak sedikit para nelayan yang meminjam modal kepada pihak-pihak tertentu. Baik untuk kebutuhan rumah tangga sampai membeli peralatan yang menunjang ketika musim tangkapan tiba. Baik itu jaring, mesin, senter dan beberapa kebutuhan yang diperlukan selama melaut.Â
Sehingga setelah musim tangkapan tiba, beberapa nelayan tidak boleh membawa hasil tangkapannya ke pihak lain. Karena sudah ada kesepakatan dengan orang yang mereka pinjamin uangnya.Â
PENDUDUK DESA
Masyarakat Desa Jala berasal dari berbagai kampung yang ada di Bima yang melakukan proses pemindahan dengan berbagai alasan. Ada dari Desa Jala, Kuta Parado, Tente, Sila dan juga beberapa kampung lainnya. Bahkan belakangan ini ada juga yang tinggal di Desa Jala yang berasal dari Lombok dan pulau Jawa.Â
Kedatangan masyarakat dari luar ini memiliki alasan yang berbeda-beda, ada yang pindah ke Desa Jala karena keluarga, menikah, membangun usaha, dan bahkan ada yang kebetulan. Kebetulan mereka pernah berjualan, lalu karena dianggap memungkinkan untuk pengembangan usaha maka mereka menetap dan kemudian menjadi warga desa.Â
Tapi menurut seorang kawan bahwa nama Jala digunakan karena adanya orang Jala dari Bima yang pindah ke Dompu. Masyarakat Desa Jala dari Bima inilah salah satu yang paling awal mendiami wilayah yang sekarang menjadi Desa Jala. Mereka mendirikan pemukiman di pesisir pantai, dan kemudian menggantung sumber kehidupannya dari laut.Â
Namun cikal bakal Desa Jala memang belum ada sumber tertulis yang bisa menguatkan argument kawan tersebut. Tetapi masih ada tokoh-tokoh masyarakat desa Jala yang bisa menguraikan secara lisan, sebagai satu-satu sumber yang bisa diandalkan.Â
PARAHU
Umummya masyarakat Desa Jala menggunakan perahu jukung atau lebih dikenal dengan perahu bercadik. Disebut perahu bercadik karena memiliki dua buah cadik di sisi kiri dan kanan sebagai penyeimbang. Perahu ini sudah dipasang mesin tempel di bagian belakangnya memuat mesin pembakar dalam, kota gigi dan baling-baling dalam sebuah unit portabel.
Perahu yang digunakan oleh para nelayan memiliki berbagai ukuran, sehingga demikian penggunaan mesin pun disesuaikan dengan ukuran perahu.Â
Karena perkembangan teknologi sudah merambah ke masyarakat nelayan. Sehingga hampir tidak ada lagi masyarakat yang mengandalkan angin dalam berlayar.Â
PASAR
Di Desa Jala, dulu ada tempat pelelangan ikan (TPI), dimana tempat tersebut sekaligus menjadi pasar bagi masyarakat. Baik yang menjajakan ikan maupun jenis kebutuhan pokok lainnya, berupa beras, tomat, kunyit, pisang dan lain-lain. Masyarakat yang berjualan tidak hanya masyarakat Desa Jala, namun banyak juga yang datang dari Desa tetangga, seperti Desa Rasabou, Desa Cempi Jaya dan Desa Sawe.Â
Para pedagang ini, biasanya datang sebelum terang tanah. Bahkan  ada pula sebelum adzan sholat subuh berkomandang mereka sudah menjajakan jualannya di TPI Desa Jala.Â
Namun TPI kini sudah tidak ada lagi, karena lahan yang digunakan masyarakat untuk berjualan, sudah dibangun tempat pembuatan es batu. Sehingga masyarakat yang datang berjualan masih memanfaatkan area pesisir untuk berdagang dengan beralaskan tikar.Â
Desa Jala bukan satu-satunya desa pesisir yang ada di kecematan Hu'u. Namun ada juga Desa Hu'u di bagian selatan  yang juga sebagian masyarakatnya memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan.Â
Bagi masyarakat pesisir laut merupakan medium  besar yang mampu memberikan segala kebutuhan untuk semesta. Namun, tidak jarang laut dieksploitasi oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab, dengan melakukan pemboman, sehingga merusak terumbu karang dan segala habitat laut lainnya.Â
Semoga kita generasi millennial tetap cinta terhadap laut, serta memiliki kesadaran untuk menjaganya, agar bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H