Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan, Antara Nilai Angka dan Nilai Akhlak

12 Maret 2020   09:59 Diperbarui: 13 Maret 2020   08:20 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika berbicara nilai dalam dunia pendidikan, maka ada dua hal yang selalu menjadi penekanan. Nilai angka dan nilai akhlak. Nilai angka kadang menjadi indikator seseorang diposisikan menjadi orang pintar dalam ranah academik. Sedangkan nilai akhlak akan menentukan penilaian sosial terhadap seseorang.

Dalam perspektik kebanyakan orang, bahwa tingginya nilai academik akan berbanding lurus dengan kesuksesan seseorang di masa mendatang. Sehingga banyak orang yang memburu agar nilai ini bisa melebihi dari yang lain. 

Orang tua tidak segan-segan memaksa anaknya untuk mengikuti les tambahan di luar jam sekolah, dengan harapan agar anaknya menjadi yang terbaik di sekolah. Orang tua tidak perduli walau harus merogoh kantong dalam-dalam agar anaknya bisa belajar di tempat kursus ternama. Agar nilainya tinggi, mewakili sekolah dan bisa memajang lebih banyak piala penghargaan di ruang tamu rumahrumah. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Cara pandang bahwa nilai angka yang terpenting, tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Sebab, cara pandang ini juga dipengaruhi realitas yang ada. Seorang anak tidak bisa masuk pada perguruan tinggi ternama hanya karena nilainya dibawa standard, demikian juga seorang siswa dari sekolah yang tidak familiar tidak bisa diterima oleh satuan tertentu hanya karena nilai rapornya tidak memenuhi syarat. 

Sejumut fakta tersebut membentuk image sosial, bahwa nilai academik adalah segala-galanya. Dengan demikian yang mengeyam pendidikan saja harus berusaha semaksimal mungkin untuk bisa membentuk image, tentang label dan citra dirinya kepada kehidupan. Bagaimana dengan mereka-mereka yang tidak mengeyam bangku sekolah, maka dianggap tidak memiliki masa depan sama sekali. Benarkah demikian?

Bagaimana dengan nilai akhlak?. Pada dasarnya antara nilai academik dan nilai ahlak harusnya dimiliki oleh seluruh peserta didik. Namun itu harapannya. Namun, kenyataannya tidak demikian adanya. Nilai akhlak memiliki andil besar dalam kepribadian seseorang dalam hubungan antar manusia. 

Nilai akhlak adalah bahasa universal umat manusia, menyangkut kebaikan, sopan santun, tata krama, bahasa yang lembut, saling menghargai dst. Membentuk orang yang memiliki nilai akhlak yang baik, tidak semudah membalik telapak tangan, itupun klau punya tangan.

Akhlak yang baik ditempa mulai pendidikan keluarga, lingkungan sampai pendidikan formil. Mulai kebiasaan bicara, bersikap, baik dengan yang kecil sampai yang lebih tua darinya. 

Ia harus bisa membedakan sikap yang diambil, intonasi saat berbicara dan gestur badan saat bersua. Sebab, itu menjadi indikator bagi orang lain terhadap kepribadian seseorang, untuk menentukan apakah ia punya akhlak yang baik atau tidak.

Sikap dan cara berbicara seseorang dalam hubungan antar manusia akan mendapatkan label, image dari orang lain. Apakah ia disebut baik atau justru dilabeli dengan kasar, arogan dan bahkan dilabeli pribadi yang sombong. Oleh karena itu Gus Dur mengatakan, "jika kamu bisa berbuat baik kepada sesama umat manusia, orang tidak akan menanyakan apa agamamu, dan sukumu".

Dalam dunia pendidikan, peserta didik tidak hanya dibekali dengan ilmu pengetahuan, namun diberikan pencerahan tentang bagaimana akhlak sebagai orang terdidik tetap terjaga. 

Memang bukan hal yang mudah bagi pendidik, karena peserta didik memiliki latar belakang yang beragam satu sama lain. Tapi berkaca pada realitas, tidak sedikit peserta didik yang di labeli dengan nakal waktu sekolah justru menjadi 'sukses' di luar sana. 

Mereka bisa survive dengan situasi sosial, mampu membaca peluang, melesat dalam senyap, melejit dalam diam dan kemudian menggapai impiannya. Kadang mereka pandai menempatkan diri dalam keadaan apapun, memahami yang dirasakan, belajar pada pengalaman, mengambil intisari kehidupan, lalu ketika selesai sekolah mereka sudah bisa menentukan dimana arah yang dituju. 

Setelah mengumpulkan energi, menyebarkan sayap, menekan tombol-tombol persahabatan, lalu menembus batas-batas keraguan orang terhadap jalannya.

Penulis teringat tulisan Les Gibling dalam bukunya cara mempengaruhi dan meyakinkan orang lain dalam semua urusan. Dalam tulisannya Les Gibling, menceritakan ada salah satu kampus ternama di Eropa yang membedakan kelas mahasiswanya. 

Ada kelas unggulan dan ada kelas nonunggulan. Dalam kelas unggulan tentu jumlahnya sangat minoritas, sebab di kelas tersebut di kelompokkan berdasarkan standard nilai yang telah ditentukan oleh pihak kampus. 

Begitu juga dengan  kelas nonunggulan, mereka ditentukan berdasarkan nilai  yang mereka miliki. Tapi, jumlah kelas nonunggulan tentu jauh lebih banyak.

Setelah beberapa tahun kelas ini selesai dari kampus tersebut, maka pihak kampus memutuskan untuk melakukan riset sederhana terhadap alumninnya. Dengan tujuan kelas yang mana paling sukses, dengan indikator; pekerjaan, relasi, rumah dan berapa banyak materi yang dimiliki. Hipotesis awal team kampus yang paling sukses tentu mereka yang kelas unggulan.

 Tentu hal ini sangat beralasan berdasarkan nilai yang mereka dapat sejak berlabel mahasiswa. Namun, setelah dilakukan riset dengan metode interview dan observasi, hasilnya pun mencengankan pihak kampus. Bahwa mayoritas yang sukses dengan indikator yang telah ditentukan, adalah mereka-mereka yang tamat dari kelas nonunggulan.

Pihak riset kampus melakukan interview lebih dalam lagi kepada beberapa responden, agar mengetahui lebih menyeluruh tentang kenapa faktanya demikian. 

Ternyata kesuksesan mereka yang dari kelas nonunggulan umumnya bukan dari jurusan yang mereka ambil ketika waktu kuliah, tapi karena mereka memiliki kecakapan dalam urusan hubungan antar manusia. Sedangkan kelas unggulan hanya sekian porsen yang sukses dibidangnya. 

Umumnya mereka tidak mampu beradaptasi dengan baik di tempat mereka bekerja, sehingga tidak memiliki banyak relasi dan hanya mengandalkan pengetahuan yang mereka miliki. Mereka pasif, ekslusif dan monoton. Sedangkan kelas nonunggulan sangat aktif, initiative, progress dan agresif.

Dari penggalan cerita tersebut, menunjukkan bahwa, tidak ada jaminan bahwa mereka-mereka yang memiliki nilai academik  yang bagus, akan sejalan dengan apa yang ingin  mereka gapai di masa mendatang. 

Tapi bukan berarti nilai academik itu tidak penting, namun akan lebih bagus lagi jika bisa sejalan, seia, sekata dengan nilai akhlak. Karena kadang kala apa yang dipelajari di bangku sekolah tidak sepenuhnya sejalan dengan apa yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Sebab, fakta sosial itu dinamis, dan fleksibel.

Kita sebenarnya bisa belajar dari ide dan gagasannya Ki Hajar Dewantara yang mengutamakan aspek kebutuhan peserta didik. Tugas seorang pendidik adalah membantu peserta didik mengetahui potensi yang mereka miliki, lalu mereka menggali potensi tersebut, mengembangkannya, membuatnya maju, meretas sang waktu, membumingkannya dan pada akhirnya memberi manfaat pada sesama.

Memilih menjadi seorang pendidik, adalah memilih jalan terjal, jalan orang-orang yang memupuk kesabaran tingkat dewa, penjaga benteng nilai untuk generasi bangsa. Nilai yang dironrong para pembual yang wara wiri dilayar kaca yang miskin akhlak. 

Mereka dihargai begitu tinggi, tapi miskin prestasi, mereka memproduksi sampah-sampah narasi, memuntahkan urusan privasi sampai urusan ranjang ke meja-meja publik. Mereka tidak mendidik, tapi bisa kaya mendadak.

Urusan nilai selalu dialamatkan kepada mereka yang bergelar guru, ustadz, dan pendeta untuk mengurus umat. Yang pada dasarnya urusan nilai adalah tanggung jawab bersama sebagai anak bangsa. Seperti orang bilang "klau tidak mampu memperbaiki, minimal jangan merusak".

Nilai angka dan nilai akhlak memang bukan dipertentangkan. Tapi bisa menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak, agar tidak terjebak pada kubangan narasi dan sudut pandang yang sempit. 

Jika ada peserta didik yang memiliki nilai academik rendah, misalnya, tidak lantas dilabeli dengan istilah bodoh, karena bisa jadi ia tidak memahami atau mungkin tidak tertarik pada pembelajaran tertentu. Namun, memiliki minat yang tinggi terhadap pelajaran yang lain.

Oleh karena itu, nilai kehidupan adalah nilai itu sendiri. Menyerap dalam kalbu, menghiasi hari dalam sikap dan laku, memahamkan pada sesama, menghilangkan batas-batas keduniawian dan membumingkan ajaran langit untuk kedamaian sesama.

Mataram, 10/02/2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun