Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu Maiyah dan Jualannya di Pasar Sindu

14 Januari 2020   17:48 Diperbarui: 14 Januari 2020   20:38 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Doc. Suradin

Beberapa hari belakang ini Kota Mataram selalu diguyur hujan. Ketika hujan datang dibeberapa ruas jalan akan tergenang air, bahkan aktivitas tidak akan berjalan sebagaimana biasanya. Yang berangkat ke suatu tujuan setidaknya harus menyiapkan jas hujan agar tidak basah selama perjalanan. Perjalananpun setidaknya penuh kehati-hatian sebelum sampai ketempat tujuan. 

Namun hari ini (14/01/2020) langit Kota Mataram sangat cukup cerah. Mentari pagi di ufuk timur begitu cerah menyapa semesta. Dalam menuju tempat pengabdianku, perjalanan pagi ini begitu lancar tanpa hambatan sama sekali. Seperti biasa, aku menyaksikan lalulalang kendaraan di beberapa ruas jalan, dan dibeberapa titik pihak keamanan kelihatan sigap dan sibuk mengatur arus lalu lintas agar berjalan lancar. Sebelum sampai ke sekolah, aku memutuskan untuk  singgah terlebih dahulu di Pasar Sindu.

Sekitar dua bulan belakangan ini aku sering menyambangi pasar Sindu yang berada di Jalan Sultan Hasanuddin Cakranegara Utara Kota Mataram. Keberadaan pasar Sindu tidak terlalu jauh dari tempatku mengajar, sehingga aku tidak terlalu khawatir untuk terlambat untuk sampai di sekolah. 

Di pasar Sindu biasanya hanya membeli pisang, karena belakangan ini aku sering mengkonsumsi pisang setelah mendengarkan ceramah seorang ustadz di cennel YouTube. Karena mengkonsumsi nasi yang terlalu banyak tidak baik untuk kesehatan menurutnya. Karena yakin dengan tausyah tersebut akupun mempraktekannya dengan mengkonsumsi pisang sebagai pengganti nasi. 

img-20200114-172719-5e1dbea0d541df01a46d3d52.jpg
img-20200114-172719-5e1dbea0d541df01a46d3d52.jpg
img-20200114-172755-5e1dc025097f363805137142.jpg
img-20200114-172755-5e1dc025097f363805137142.jpg
Doc. Suradin

Dari kejauhan, pasar Sindu seperti pasar kebanyakan sudah kelihatan ramai di pagi hari. Laju kendaraan roda dua yang kutumpangi harus melaju sangat pelan. Sebab, harus berbagi tempat dengan kendaraan lain dan orang-orang yang menyebrang serta yang sibuk mengangkat barang-barang jualan. 

Para pedagang sibuk menjajakan barang dagangannya, para tukang parkir sibuk mengatur motor dan melerai lalu lintas, benhur/cidomo berdesakan dengan yang lain menunggu penumpang. Segala kebutuhan pokok cukup tersedia di pasar Sindu. Mulai dari barang-barang kebutuhan rumah tangga sampai hasil kebun berupa pisang, ubi, jagung dan bahkan sampai  kembang uleran dan kembang laywan untuk kebutuhan peribadatan suatu agama tersedia di sini.

 Setelah aku simpan motorku di tempat parkir aku melangkahkan kakiku untuk memasuki pasar. Di sudut pasar dilorong masuk pertama sebelah utara, pandanganku tertuju pada seorang perempuan tua yang sedang menjajakan jualannya kepada siapa saja yang lewat di depannya. Akupun memutuskan menghampirinya. 

Setelah melihat-lihat barang dagangannya kelihatan sangat cukup berfariasi, ada pisang, jagung, nenas dan lain-lain. Akupun memberanikan diri untuk mengajaknya berbincang-bincang setelah aku memutuskan untuk membeli pisangnya beberapa sisir. Dengan senyumannya yang datar iapun mengangguk. 

dokpri
dokpri
Doc. Suradin

"Nama saya Maiyah, saya sudah cukup lama menjadi pedagang, ketika bulan puasa tiba, saya menjual cendol di pasar Kebon Roek di Ampenan sana. Kadang penghasilan setiap menjual tidak menentu, namun biasanya sekitar 30 ribuan, dari penghasilan inilah saya gunakan untuk kebutuhan di rumah" Ujarnya menjawab beberapa pertanyaan yang aku ajukan.

Dengan umurnya yang tak muda lagi Ibu Maiyah masih kelihatan semangat untuk menjajakan jualannya. Walaupun harus berangkat pagi-pagi dari tempat tinggalnya di Pagutan selatan Kota Mataram, dengan membawa sebagian besar barang dagangannya, ia tak pernah berputus asa. Karena menurutnya dengan berjualan seperti inilah yang bisa menyambung ekonomi keluarganya. 

Ibu Maiyah tidak ingin berpindah profesi, karena tidak memiliki keahlian yang lain selain berdagang, dengan pengalamannya selama dua puluh lima tahun menjadi seorang pedagang, tentu ibu Maiyah sudah mengetahui seluk-beluk bagaimana cara  meyakinkan konsumennya. Karena sejak ditinggal mati suaminya puluhan tahun  yang lalu, dikala anak-anaknya masih kecil, praktis, Ibu Maiyah tidak saja menjadi ibu dari anak-anaknya, tapi menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin faktor inilah yang membuat anak-anaknya tidak bisa menimba ilmu sampai jenjang tertentu. Dua anaknya yang paling tua sudah berumah tangga sedangkan yang tiga diantaranya memutuskan berprofesi sebagai tukang kayu panggilan dan masih tinggal bersamanya. 

Di umurnya yang tidak muda lagi, Ibu Maiyah mestinya lebih banyak menghabiskan waktu dengan cucu-cucunya dari dua anaknya yang sudah menikah. Menggendongnya sambil melantungkan petuah-petuah kampung untuk modal mengarungi kehidupan di kala ia besar. Mengarahkan arah hidupnya, agar menjadi manusia yang tangguh menghadapi realitas sosial yang angkuh. Cucu-cucunya yang akan mengenangnya kala ia sudah dipanggil sang khalik, yang bangga terhadapnya karena pernah memberinya pencerahan dikala ia belum pernah mengenal bagaimana kerasnya kehidupan. 

img-20200114-172842-5e1dc095097f364204347f12.jpg
img-20200114-172842-5e1dc095097f364204347f12.jpg
Doc. Suradin

Namun, ibu Maiyah bukan perempuan biasa, bukan perempuan 'cengeng', bukan perempuan yang suka mengeluhkan keadaan atau perempuan yang suka menengadahkan tangan menunggu belas kasihan dari orang lain, bahkan dari anaknya sekalipun. Dia sosok perempuan tangguh yang menjadi pahlawan bagi anak-anaknya. Kebanyakan perempuan seusiannya mungkin tidak akan memilih jalan seperti dirinya dan bahkan lebih senang menunggu dan merengek kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Perjumpaan dengan Ibu Maiyah hari ini, telah menghentak batinku, bahwa hidup mesti dijalani seperti dirinya. Tidak boleh mengeluh, terus menjalani dan mensyukuri segala yang telah dititahkan oleh sang khalik. Umur tidak bisa dijadikan sandaran alasan, untuk berhenti berusaha dan berjuang. Karena hidup harus dinikmati seperti mentari yang sudi menyapa semesta pagi ini. 

Ibu Maiyah semoga tetap sehat, rezekimu dipermudah oleh sang khalik dan semoga esok, waktu masih mempertemukan kita kembali. Kelak akan kuceritakan kepada semesta bahwa engkau adalah wanita yang hebat dan luar biasa. Engkau tidak harus mengusir penjajah untuk menjadi pahlawan, karena engkau telah menjadi pahlawan bagi anak-anakmu, pahlawan bagi orang-orang seperti diriku yang menyerap energi kehidupan yang engkau jalani. Semangatmu menjalani hidup mengalahkan umurmu. Mataram, 14/01/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun