Terlintas dalam ingatan ucapan bapak Yusuf Kalla ( seorang pengusaha senior dan juga wakil presiden RI periode 2005 - 2009 ) di sebuah media elektronik, "pengusaha itu tak ubahnya seorang pendekar, dan dunia usaha adalah dunia persilatan". Sebuah perumpamaan yang sangat tepat menurut saya, karena setelah menggeluti dunia usaha dalam satu dekade terakhir, terasa begitu kental nuansa persaingannya, begitu pelik permasalahan di dalamnya, berbagai cara (jurus) harus kita keluarkan, dan juga berbagai tantangan yang harus kita hadapi. Tentu hal itu sangat relevan jika kita menyamakan pengusaha tak ubahnya seorang pendekar dan dunia usaha adalah dunia persilatan. Peliknya dunia usaha di Indonesia tak lepas dari peran dunia perbankan, politik, sosial dan budaya di negeri ini, juga peran dari pola pikir para pengusaha itu sendiri. Dunia perbankkan di Indonesia bisa dibilang "rentenir" yang dilegalkan secara hukum. Jika kita melihat negara-negara lain menerapkan bunga untuk kredit usaha di kisaran 1-5 %, di Indonesia justru menerapkan bunga kredit usaha dikisaran 10-20%, dan persyaratan pengajuan kredit yang sangat rumit tentu sangat memberatkan bagi pengusaha. Mirisnya lagi ada program dari pemerintah yang dinamakan KUR (kredit usaha rakyat) yang notabene diperuntukkan bagi pengusaha UKM (usaha kecil dan menengah) justru bunganya lebih tinggi jika dibandingkan dengan bunga jenis kredit usaha yang lainnya. Memang kelebihan dari KUR itu sendiri merupakan kredit tanpa anggunan walau dalam penerapannya ada sebagian bank yang masih meminta anggunan sebagai syarat pengajuan KUR. Pemerintah harusnya ingat bahwa kunci keberhasilan indonesia lolos dari krisi global tak lepas dari peranan UKM dalam menopang perekonomian bangsa ini. Peran politik tentu tidak asing lagi bagi kita, bagaimana bobroknya politisi dan birokrasi negri ini, mengakar hingga tingkatan paling dasar. dimana suap-menyuap menjadi hal yang wajar, kong-kalikong antara pengusaha, politisi, dan birokrasi sudah tidak bisa dihindari, mulai dari perizinan, pajak, dan lain-lain. Tentu saja hal ini menjadi resiko, beban biaya, dan tantangan tersendiri bagi pengusaha dalam menjalankan usahanya. Peran sosial dan budaya juga tidak kalah dominan dalam mempengarahi peliknya dunia usaha di Indonesia, sukuisme, premanisme, profesionalisme yang rendah menjadi tantangan juga menjadi keuntungan tersendiri bagi pengusaha kita. Sukuisme sangat mencolok dalam mempengaruhi kesuksesan dalam berusaha di Indonesi, karena ada suku tertentu yang mendapatkan kepercayaan lebih setiap kali mengajukan kredit, ada suku tertentu mendapatkan akses juga harga yang bagus dalam mendapatkan barang, ada juga suku tertentu yang mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan atau proyek, tentu hal itu menjadi keuntungan tersendiri bagi suku tersebut sekaligus menjadi tantangan bagi suku yang lain, terlebih lagi setelah adanya otonomi daerah yang disalah artikan, dimana suku pribumi merasa menjadi pemilik wilayah seakan-akan suku lain menumpang hidup di wilayahnya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan suku lain dianak tirikan. Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah premanisme, dimana sudah begitu meresahkan dan terkadang kelewat batas namun seakan tampak kasat mata. Adalah hal yang wajar bila kita menemui sekelompok masa menghadang dengan menghunus senjata tajam bahkan sebagian membawa senjata api saat kita akan memasukkan penawaran dalam sebuah pelelangan proyek dan kita melakukan hal yang sama untuk mengimbangi dan menghadang pesaing kita yang lain agar tidak menggesar pekerjaan kita, juga sesuatu yang wajar jika kita memberikan uang keamanan agar pekerjaan kita dilapangan tidak diganggu, memberi uang keamanan agar toko kita aman, memberi uang keamanan agar barang atau material kita tidak dicuri dan banyak hal-hal lain yang sangat meresahkan juga sangat menantang bagi pengusaha dalam menjalankan usahanya, mirisnya lagi premanisme itu justru dibekingi oleh aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat. Terakhir adalah soal profesionalisme, tak asing bagi kita rendahnya profesionalisme orang Indonesia saat ini. Kita tidak bisa memvonis bahwa rendahnya profesionalisme orang indonesia merupakan warisan nenek moyang atau memang sudah mendarah daging, perlu kita ingat tidaklah mungkin orang yang profesionalismenya rendah dapat mendirikan kerajaan majapahit yang begitu tersohor, kerajaan sriwijaya yang juga tidak kalah besar, candi borobudur, candi prambanan, batik, dan mahakarya besar lainnya yang lahir dari karya nenek moyang kita. Jika saya lihat rendahnya tingkat profesionalisme di Indonesia saat ini bukanlah warisan nenek monyang, melainkan sebuah budaya baru, kemudian mejadi lingkaran setan dalam sebuah ikatan kuat antara korupsi, kolusi, nopotisme yang berdampak pada rendahnya profesionalisme masyarakat Indonesia saat ini. Bagai mana mungkin seorang pekerja akan bekerja giat dan mengerjakan pekerjaannya dengan baik jika gajinya kecil, bagaimana mungkin pengusaha memberikan gaji besar sementara untuk mendapatkan pekerjaan tersebut setidaknya 20-50% dari nilai pekerjaan yang ideal sudah digunakan untuk menyuap para birokrasi, membayar bunga bank yang tinggi, nilai penawaran yang rendah karena persaingan harga penawaran yang tidak wajar, membayar preman, harga barang yang tinggi karena dimonopoli dan besarnya biaya distribusi, dll., sementara para birokrasi harus menyetor nilai tertentu kepada atasannya dan atasannya menyetor kepada atasannya yang lebih tinggi begitu seterusnya hingga terbentuk lingkaran setan yang menjerumuskan negeri ini dalam lubang kehancuran. Dari sedikit uraian tentang kerasnya dunia usaha di Indonesia tentu kita sebagai "pendekar" harus benar-benar memiliki mental jawara dan menyiapkan jurus ampuh, dimana jurus-jurus biasa tidak akan mampu membuat kita menguasai "dunia persilatan" Indonesia, dan jurus yang harus digunakan adalah jurus "dewa mabuk", dimana dengan menggunakan jurus ini kita bisa menjadi berani bahkan cenderung nekat, tidak pandang bulu, tidak tahu malu, yang pasti setiap hari mabuk (muntah) melihat realita "dunia persilatan" di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H