Mohon tunggu...
Supriyono Suroso
Supriyono Suroso Mohon Tunggu... profesional -

Authorized Mediator for Conflict Resolution (Pusat Mediasi Indonesia - Sekolah Pascasarjana UGM)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Parkir Tanpa Tanggungjawab?

15 Juni 2012   09:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:57 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di karcis parkir tertulis pesan "Kendaraan hilang atau rusak di tanggung sendiri. Parkir bukan penitipan kendaraan. Pengelola tidak bertanggungjawab atas semua bentuk kehilangan / kerusakan di tempat parkir."  Klaim sepihak tersebut meresahkan kita. Saat hendak meninggalkan kendaraan kita di lahan parkir, pikiran kita bergejolak gelisah: apakah kendaraan yang diparkir aman? Bbagaimana kalau hilang? Bagaimana kalau pengelola menolak bertanggungjawab?"

Ada yang aneh dengan pesan di karcis parkir tersebut, atau lebih tepatnya kita bisa menyebut telah terjadi sesat logika dalam pengelolaan parkir. Pertama, tentang hakekat parkir. Apakah pengelola menyewakan lahan parkir, atau sekedar menarik retribusi parkir, atau menjual jasa pengawasan parkir? Mengapa mereka selalu mencantumkan pesan eksoneratif (mengingkari tanggungjawab) atas kerusakan atau kehilangan barang di tempat yang berada dalam kekuasaan (dan pengawasan) nya? Sepertinya pengelola parkir memang hanya memposisikan diri sebagai penarik retribusi parkir, bukan menjual jasa pengawasan, apalagi penitipan kendaraan. Tapi terus kepada siapa kita mempercayakan kendaraan kita? Apalagi ketika petugas parkir meminta kita agar stang sepeda motor tidak dikunci, dengan dalih biar mudah ditata. Kalau hilang, gimana? Pengguna parkir diposisikan wajib membayar retribusi, dan sebagai kompensasinya diberi hak menggunakan lahan parkir. Tapi ya hanya itu. Tidak termasuk hak keamanan, keselamatan, dan kenyamanan.

Kedua, tentang akuntabilitas pengelolaan parkir. Ketika pengelola parkir mengingkari tanggungjawab keamanan dan keselamatan kendaraan di lahan parkir yang mereka kelola, terus kepada siapa kita mempercayakan kendaraan kita?  Bukankah dengan pesan eksoneratif itu pengelola parkir tidak bisa diukur akuntabilitasnya?  Sudahkah parkir diselenggarakan dengan asas kehati-hatian, kepedulian, dan keselamatan. Jangan-jangan justru ada oknum petugas parkir yang berbuat jahat dan bersembunyi di balik pesan eksoneratif itu?

Ketiga, responsibilitas. Sungguh tidak masuk akal pesan ingkar tanggungjawab oleh pengelola parkir. Di pertokoan atau di kantor, kita harus meninggalkan kendaraan di tempat parkir, tanpa rasa aman. Kalau helm bisa dibawa masuk (kalau boleh), lah kalau kendaraan? Bukankah penghasilan dari 'retribusi' parkir terlalu besar untuk pekerjaan yang tidak diimbangi tanggungjawab?

Undang-undang perlindungan konsumen (UU No. 8 tahun 1999) secara tegas sudah mengatur bahwa konsumen berhak atas keamanan dan keselamatan atas jasa yang dikonsumsinya. Pesan eksoneratif (mengingkari tanggungjawab)  seperti itu jelas melanggar pasal 18 ayat (1) huruf (a). Pesan eksoneratif itu juga tidak selaras dengan logika sahnya kontrak. Karcis adalah bukti kontrak parkir.  Kontrak baru sah apabila ada kesepakatan, kepahaman,  dan kerelaan. Karena ditetapkan sepihak, tentu saja tanpa kerelaan dan kesepakatan dari konsumen pengguna parkir.  Lebih buruk lagi, pesan eksoneratif itu ditulis dengan huruf kecil-kecil, warna tidak kontras, dan menggunakan istilah-istilah yang asing. Artinya konsumen kadang tidak mengetahui (dan sehingga tidak rela) dengan isi 'kontrak' di karcis parkir tersebut.

Rasa-rasanya kegalauan ini juga akan sulit terjawab. Jangankan yang masih berupa kekawatiran, yang pernah kehilangan pun tak pernah mendapatkan solusi. Selalu saja pengelola parkir berlindung di balik pesan eksoneratif itu. Kalau tidak salah ingat, dari ribuan kasus kehilangan kendaraan di tempat parkir, baru satu kasus yang gugatannya dimenangkan pengadilan.

Sepertinya, kita harus ingat adagium kuno  bahwa sebagai konsumen kita harus berhati-hati terhadap penyedia jasa (caveat emptor), karena ada kecenderungan mereka curang. Mengapa pelaku usaha belum bisa memupuk semangat transaksi yang sehat (caveat venditor).

Supriyono

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun