Mohon tunggu...
Supri Yatno
Supri Yatno Mohon Tunggu... profesional -

Supriyatno adalah seorang Counselor, Trauma Therapist, Freelace Writer, dan Founder Peduli Trauma. Aktif memberikan konseling baik secara online maupun dalam bentuk pertemuan langsung support group mengenai permasalahan trauma masa kecil, trauma perceraian, trauma KDRT, kesehatan mental, trauma kehilangan, dan mind-body connection. Link:http://www.wix.com/supriyatno/personalsite, http://www.facebook.com/groups/pedulitrauma/

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kekerasan di Tempat Kerja

3 November 2011   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:07 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEKERASAN DI TEMPAT KERJA

Ada seorang bapak mendapatkan kekerasan emosional di tempat kerja dari bossnya sendiri. Hampir setiap hari ia mendapatkan omelan yang tidak jelas untuk pekerjaannya yang sudah dilakukannya dengan benar, apalagi jika salah dalam mengerjakannya. Disalahkan, direndahkan dengan dimarahi di depan orang lain, digoblok-goblokan, adalah hal yang sering diterimanya. Bapak ini menjadi serba salah dalam melakukan sesuatu. Takut salah dan dimarahi. Apa sudah benar? mana yang salah? itu yang selalu ada di dalam pikirannya.

Bapak ini keadaan finansialnya cukup baik. Jika ia harus keluar dari pekerjaan, saya rasa ia masih bisa makan esok hari sambil mencari pekerjaan baru. Pengalaman kerjanya pun baik. Tapi ini tidak dilakukannya. Ia pernah "ngambek" tidak masuk akibat dimarahi bossnya. 2 hari kemudian masuk kerja dan beberapa hari kemudian mogok kerja lagi. 3 hari kemudian masuk kerja lagi...dan mengeluh lagi terhadap perlakukan bossnya.

Mereka yang mengambil posisi sebagai boss, tentu menyadari ada perbedaan kerja keras antara menjadi karyawan dan pemilik usaha. Saya kira tidak semua pemilik usaha menjadi kasar akibat persaingan usaha, membayar upah karyawan, peraturan pemerintah, atau pungutan-pungutan. Lalu kalau begitu ada hal lain yang menjadikan satu orang lebih kasar dari yang lainnya, yaitu kualitas pribadinya.

Sebagaimana pada umumnya pelaku kekerasan, ia akan selalu menyalahkan orang atas semua pekerjaan yang dilakukan orang lain baik itu benar apalagi salah. Pelaku juga akan selalu melemparkan kesalahan pada orang lain untuk kesalahan yang dibuatnya sendiri. Boss si bapak ini membawa-bawa rasa malu yang beracun (toxic shame). Ia malu terlihat lemah, ia malu sebenarnya ia tulul. Ia malu dengan dirinya sendiri, sehingga ia harus terus menerus menutupi dirinya dari terlihat lemah dengan berlaku seolah-olah tampil sempurna. Pertanyaannya mengapa ia sampai malu dengan dirinya sendiri?.

Orang yang terluka, melukai orang lain. Bapak ini tidak sadar bahwa bossnya sedang men-transfer toxic shame kepada dirinya. Sebagaimana bossnya memiliki masalah inti harga diri yang rendah, bapak ini sedang dibuat harga dirinya rendah. Dilihat dari keadaan finansialnya, bapak ini seharusnya mampu tegas terhadap perlakukan bossnya. Tidak ada alasan "besok mau makan apa" jika ia harus keluar dari pekerjaannya. Uang atau kekayaan memang tidak bisa menggantikan ketegasan/kepercayaan pada dirinya sendiri.

Bapak ini tidak tahu dampak dari kekerasan di tempat kerja yang dilakukan bossnya, sehingga ia tidak bisa melihat secara jernih pada permasalahan yang dihadapinya. Kekerasan emosional selalu membuat korban memandang dirinya yang bersalah atas apa yang terjadi. Memang, tujuan dari kekerasan emosional adalah membuat korban merasa bersalah.

Jika kesadaran ini ada pada bapak itu, dan jika ia belum bisa tegas untuk keluar dari pekerjaannya, minimal membangun kekuatan agar suatu saat dapat berdiri gagah meninggalkan bossnya karena dirinya lebih dihargai di tempat lain.

Supriyatno
Counselor,Trauma Therapist, Freelance Writer, Founder of Peduli Trauma
http://www.wix.com/supriyatno/personalsite
http://www.facebook.com/groups/pedulitrauma/
E-mail: pedulitrauma@gmial.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun