Pengakuan, kata yang sederhana. Tidak sampai genap 10 jumlah hurufnya, ganjil, Â hanya 9 huruf. Jika di-angka-kan dalam urutan numerik. Maka huruf "P" adalah huruf ke-16, dalam urutan alphabet.Â
Huruf "E" adalah huruf ke-5, "N" ke-14, "G" ke-7, "A" ke-1, Â "K" ke-11, "U" ke-21, "A" ke-1, dan terakhir "N" Ke-14. Jika dpetakan lagi, maka ada 3 bilangan genap, dan 6 bilangan ganjil. Kenapa saya petakan seperti ini? Pentingkah? Dan untuk apa?
Saya punya dua jawaban, lebih tepatnya sebuah alasan. Pertama, saya rasa penting. Dengan pemetaan di atas, saya belajar dan menambah daya analisis dalam menulis. Saya juga belajar bagaimana menulis lite dengan sederhana, dan berangkat dari ide utama saya yang menjadi dulu, yah, pengakuan. Sebab tulisan ini dimulai dari paragraf awal.
Kedua, tidak penting. Alasan kedua ini adalah jawaban dari kebigungan kita bersama, atas jawaban saya yang "ngalor-ngidul". Sederhananya, apakah dengan saya memetakan huruf alpabhet, berdasarkan angka atau numerik menjadi penting untuk diketahui oleh pembaca? Tentu tidak! Apa pentingnya, jika "kepetingannya tak sama!?"
Sederhanya, yang ingin  saya utarakan adalah, bahwa "peng-aku-an" dalam menambah kebermanfaatan bagi diri kita adalah hal yang penting. Sebaliknya, apa yang terbaik yang telah kita upayakan, untuk kebermanfaatan diri kita, tidak penting bagi dan untuk kehidupan orang lain.
Apatah lagi, kehidupan jelas menuntut kita untuk bisa menganalisis jalan hidup kita. Kegunaan mata yang ada di kepala, adalah untuk menuntun "mata kaki" kita. Adapun gerak langkah kaki kita yang terdengar berisik, dan mungkin gerak tubuh kita yang tercium dengan bau tidak mengenakkan. Maka, biarkan.
Biarkan mereka mencium bau itu dan terganggu! Jika tidak mau terganggu, silahkan tutup hidung dan telinga mereka sendiri! Itu hak mereka atas telinga dan hidung yang Allah Swt anugerahkan.
"Semua manusia memang butuh peng-aku-an. Tetapi untuk apa membutuhkan pengakuan dari semua orang?"
Kalau-lah Kekasih Mulia, al-Mustafa itu butuh pengakuan. Maka sepanjang masa, Penciptanya, Allah Swt tidak akan diakui oleh Sahabat dan Umat manusia setelahnya. Karena cinta sahabat yang begitu dalam pada al-Amiin. Tetapi apakah mereka, para sahabat mengakuinya berlebihan? Hingga lupa pada yang seharusnya diakui sebagai satu-satunya di hati?
Tetap-lah al-Mustafa, hanyalah seorang Hamba. Dan yang berhak dapat pengakuan, di hati setiap sahabat, adalah Kekasih yang lebih pantas diakui, sehingga kelak setiap dari kita dapat pengakuan sebagai hamba-Nya.
Hati kita yang begitu lemah tak butuh itu! Tak butuh pengakuan atau diakui atas apapun itu. Kita Cuma butuh "sendiri", merenung akan jalan yang sebenarnya, yang seharusnya dilewati oleh hati kita yang lemah dan jauh dari tujuan sesunggunya.
Hati kita yang lemah itu, mungkin selalu ingin untuk ini dan itu. Ingin diakui, ingin dianggap, sehingga dengan perasaan yang membara itu, membuat kita sendiri yang meleleh. Dan mungkin membakar sekeliling kita, menghanguskan hidup kita.
"Ya Allah, aku memohon kepadaMu jiwa yang merasa tenang kepadaMu, yang yakin akan bertemu denganMu, yang ridho dengan ketetapanMu, dan yang merasa cukup dengan pemberianMu."Â (HR Thabrani).
Semoga Allah Swt, menjaga hati, menjaga kita untuk hati, menjaga kita atas penyakit hati, dan dari tipu daya hati untuk segala pengakuan yang semu dipandang mata kita. Allahu a'lam bisshowwab...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H