Mohon tunggu...
Supriyanto
Supriyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Agama Buddha

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salahkah Jika Umat Buddha Ingin Kaya?

11 Juli 2024   06:36 Diperbarui: 11 Juli 2024   19:09 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Agama Buddha memiliki pandangan yang unik dan mendalam tentang keinginan untuk kaya. Keinginan tersebut, seperti keinginan lainnya, dipandang melalui lensa ajaran Buddha yang menekankan kebijaksanaan, etika, dan meditasi sebagai jalan menuju pencerahan dan kebahagiaan sejati.

Pemahaman tentang Keinginan (Tanha)
Dalam ajaran Buddha, keinginan atau nafsu (tanha) dianggap sebagai salah satu akar dari penderitaan. Buddha mengajarkan bahwa keinginan yang tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakpuasan dan penderitaan karena segala hal yang diinginkan bersifat sementara dan selalu berubah. Keinginan untuk kaya bisa menyebabkan seseorang terjebak dalam siklus keinginan yang tidak pernah berakhir, yang pada akhirnya hanya menambah penderitaan. Dalam Dhammapada ayat 204:


 "Kesehatan adalah keuntungan terbesar, kepuasan adalah kekayaan terbesar, dapat dipercaya adalah kerabat terbaik, dan Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi."


Ajaran ini menunjukkan bahwa kekayaan materi bukanlah sumber kebahagiaan tertinggi. Kepuasan batin dan kesehatan adalah lebih penting daripada kekayaan materi. Keinginan yang berlebihan untuk harta benda sering kali menyebabkan ketidakpuasan karena manusia cenderung menginginkan lebih dari yang sudah mereka miliki. Dengan mengendalikan keinginan ini, seseorang dapat mencapai kedamaian dan kebahagiaan yang lebih sejati.

Pandangan tentang Kekayaan (Artha)
Meski begitu, Buddha tidak menolak kekayaan itu sendiri. Kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan digunakan dengan bijak bisa mendukung kehidupan yang baik dan bermanfaat. 

Dalam  Sigalovada Sutta (Digha Nikaya 31), Buddha memberikan petunjuk tentang bagaimana seorang awam seharusnya mengelola kekayaan mereka. Buddha menekankan pentingnya memperoleh kekayaan dengan cara yang benar, membagikan sebagian kekayaan untuk membantu orang lain, dan menggunakan kekayaan untuk mendukung keluarga dan komunitas.

"Seseorang yang beretika dan bebas dari keinginan buruk, seorang yang bijaksana, harus mendistribusikan kekayaannya dalam empat bagian: satu bagian untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dua bagian untuk usaha bisnis, dan satu bagian untuk ditabung untuk masa depan."

Pandangan ini menunjukkan bahwa kekayaan harus diperoleh melalui usaha yang jujur dan etis. Selain itu, kekayaan harus digunakan dengan bijak untuk kesejahteraan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Dalam konteks ini, kekayaan menjadi alat untuk mendukung kehidupan yang bermakna dan penuh kebajikan, bukan sebagai tujuan akhir.

Etika dalam Mencari Kekayaan
Mencari kekayaan haruslah dilakukan dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, yakni tidak melanggar moralitas dan prinsip-prinsip etika. Buddhis diajarkan untuk menghindari lima perdagangan yang salah: perdagangan senjata, perdagangan manusia, perdagangan daging (termasuk hewan untuk makanan), perdagangan minuman keras, dan perdagangan racun. 

Dengan menghindari bisnis yang merugikan makhluk lain, seseorang menjaga kemurnian batin dan karma mereka. Hal ini tercermin dalam  Anguttara Nikaya 5.177 , di mana Buddha menjelaskan lima jenis perdagangan yang harus dihindari.

"Lima jenis perdagangan yang harus dihindari oleh seorang umat awam adalah: perdagangan senjata, perdagangan manusia, perdagangan daging, perdagangan minuman keras, dan perdagangan racun."


Buddha mengajarkan bahwa usaha yang benar (samma ajiva) adalah salah satu aspek dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Usaha yang benar berarti mencari penghidupan dengan cara yang tidak merugikan makhluk hidup lainnya dan mematuhi prinsip-prinsip moralitas. Dengan demikian, seseorang dapat mencari kekayaan tanpa menyebabkan penderitaan bagi dirinya sendiri dan makhluk lain.

Penggunaan Kekayaan untuk Kebaikan
Buddha mengajarkan bahwa kekayaan seharusnya digunakan untuk empat tujuan utama: untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk membantu orang lain, untuk mendukung kegiatan spiritual, dan untuk mengembangkan kebijaksanaan. Dengan demikian, kekayaan dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan bukan tujuan itu sendiri.  Dhammapada  ayat 223 mengatakan:

Kalahkan kemarahan dengan cinta kasih
dan kalahkan kejahatan dengan kebajikan.
Kalahkan kekikiran dengan kemurahan hati,
dan kalahkan kebohongan dengan kejujuran


Dalam konteks ini, kekayaan dapat menjadi sarana untuk berbuat baik dan mendukung kegiatan spiritual. Misalnya, dengan menggunakan kekayaan untuk mendanai kegiatan amal, membantu orang yang membutuhkan, atau mendukung pembangunan vihara dan kegiatan keagamaan lainnya. Dengan demikian, kekayaan dapat digunakan untuk menciptakan manfaat bagi banyak orang dan mendukung perkembangan spiritual diri sendiri dan orang lain.

Menghindari Ketergantungan dan Kemelekatan
Kunci penting dalam pandangan Buddha tentang kekayaan adalah menghindari ketergantungan dan kemelekatan. Seorang Buddhis diajarkan untuk melihat kekayaan sebagai alat dan bukan sebagai sumber kebahagiaan sejati. Dengan memiliki pandangan yang benar tentang kekayaan, seseorang bisa menghindari penderitaan yang timbul dari kehilangan atau ketidakpastian materi.  Dhammapada  ayat 202 mengingatkan kita:

Tiada api yang menyamai nafsu;
tiada kejahatan yang menyamai kebencian;
tiada penderitaan yang menyamai kelompok kehidupan (khandha);
dan tiada kebahagiaan yang lebih tinggi
daripada 'Kedamaian Abadi' (nibbana).


Pandangan ini menekankan pentingnya tidak terikat pada kekayaan materi. Kekayaan bisa datang dan pergi, dan seseorang harus siap untuk menghadapi perubahan tersebut dengan sikap yang tenang dan bijaksana. Dengan tidak terikat pada kekayaan, seseorang dapat mencapai kedamaian batin dan kebahagiaan yang lebih mendalam.

Keseimbangan antara Kehidupan Duniawi dan Spiritual
Dalam ajaran Buddha, pentingnya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual sangat ditekankan. Seorang umat awam dianjurkan untuk menjalani kehidupan yang seimbang, di mana mereka dapat memenuhi kebutuhan duniawi sambil tetap berusaha mencapai kebijaksanaan dan pencerahan. Kekayaan materi tidak boleh menjadi penghalang bagi perkembangan spiritual. Sebaliknya, kekayaan yang diperoleh dan digunakan dengan cara yang benar dapat mendukung praktik spiritual.

Dalam Sigalovada Sutta, Buddha mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara memenuhi tanggung jawab duniawi dan melaksanakan praktik spiritual. Misalnya, seorang kepala keluarga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi juga harus menyisihkan waktu untuk beribadah dan mendalami ajaran Dhamma. Dengan menjaga keseimbangan ini, seseorang dapat mencapai kehidupan yang harmonis dan penuh kebahagiaan.

Kesimpulan
Keinginan untuk kaya dalam pandangan Buddha harus dikelola dengan kebijaksanaan dan moralitas. Kekayaan tidak ditolak, tetapi harus dicari dan digunakan dengan cara yang benar dan untuk tujuan yang mulia. Dengan demikian, kekayaan dapat mendukung kehidupan yang bermanfaat dan membantu seseorang berjalan di jalan Dhamma menuju kebahagiaan sejati dan pencerahan.

Dalam ajaran Buddha, kekayaan adalah alat yang bisa digunakan untuk kebaikan, tetapi bukan tujuan akhir. Kebahagiaan sejati tidak tergantung pada kekayaan materi, melainkan pada kepuasan batin, kedamaian, dan pencerahan spiritual. 

Dengan memahami dan mengelola keinginan untuk kaya dengan bijak, seseorang dapat mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan bebas dari penderitaan. Ajaran Buddha memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana mencari, menggunakan, dan melihat kekayaan dengan cara yang mendukung perkembangan spiritual dan kesejahteraan sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun