Disisi lain koalisi juga melakukan pemantauan dan kajian terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan lahan pengganti (land swap) bagi korporasi HTI yang 40 persen areal konsesinya masuk dalam fungsi lindung gambut. Korporasi HTI akan memperoleh lahan pengganti paling tidak seluas dengan areal kerjanya yang berubah menjadi fungsi lindung gambut di kawasanhutan produksi dan merupakan kawasan tanah minera. Sayangnya, dari hasil pemantauan dilakukan di 4 provinsi yaitu: Kalimantan Utara, KalimantanTengah, Papua dan Riau, koalisi menemukan:
 1.Arealland swap telah ditempati masyarakat adat dan tempatan sejak berpuluh tahun lalu.
  2.Arealland swap merupakan kawasan gambut dengan kedalaman 2--4 meter.
 3. Arealland swap merupakan tegakan hutan alamtersisa. Â
  4.Terdapat fasilitas umum seperti perkampungan, sekolah hingga Taman PemakamanUmum (TPU) di arealland swap.
 5. Perusahaan-perusahaan yang areal kerjanya masuk ke dalam fungsi lindung ekosistem gambut harus dicabut izinnya.
 6.KLHK mencabut PermenLHK nomor P.10/Menlhk/Setjen/KUM.1/3/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut dan kembali menjadikan areal gambut korporasi bekas terbakar menjadi fungsi lindung gambut.7.KLHK mencabut Permenlhk P.62/2019 tentang pembangunan HTI karena bertentangan dengan semangat PP 57/2016 karena pemulihan gambut yang rusak bukan hanya dipuncak kubah gambut, namun diseluruh ekosistem gambut.
 8. KLHK tidak melanjutkan kebijakan yang berpotensi merusak lingkungan hidup dan mengakibatkan konflik sosial ini dengan mencabut P.40/2017.
 9. Dengan dicabut dan tidak diberlakukannya P.40/2017 maka seluruh perusahaan yang telah mendapat pengesahan revisi RKU dan penetapan land swap turut dibatalkan dan mengecilkan luasan areal kerjanya sesuai dengan ketentuan P.45/2016 tentang Tata CaraPerubahan Luasan Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.
Sumber Rilis Dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (JIKALAHARI)