Hat Yai yang berlalu begitu sajaÂ
Â
Bams tiba di hotel lagi sudah menjelang pukul 9 malam. Dia segera bergegas ke kamarnya dan  melakukan persiapan untuk segera meninggalkan Bangkok. Harta penting yang harus dia siapkan adalah dokumen pribadi termasuk pasport serta  sisa uang USD dan Baht. Juga termasuk laptop milik perusahaan yang sedikit menyesal terlanjur dia bawa juga perlu untuk diselamatkan . Â
Dua potong T shirt dan celana Bams masukkan ke dalam ransel day pack nya.  Baju kerja dan barang lain termasuk travel bag  sudah dia niatkan untuk ditinggal. Barang tersebut nanti bisa dikirim menyusul ke Indonesia bila kondisi sudah normal kembali. Bams merasa nuansanya jadi persis seperti persiapan mau naik gunung, padahal Bams hanya  mau naik kereta api.Â
Di loby hotel terlihat lebih ruwet dari malam sebelumnya. Kali ini jumlah orangnya lebih banyak yang bersiap menunggu evakuasi . Untung proses check out hotel tidak lebih dari 20 menit, dan Bams bisa mencapai stasiun kereta sebelum jam 10 malam ditemani oleh sopir perusahaan.
Lumayan Bams juga bisa bergantian makan dan mengantri sedekat mungkin dengan pintu kereta dengan teman sopir ini . Walaupun si sopir hanya mengerti sedikit bahasa Inggris untuk komunikasi. Tapi itu sudah sangat membantu sekali bagi Bams. Sebab semua pengumuman dari stasiun mengguunakan bahasa Thai yang tidak Bams mengerti . Dia juga memastikan bahwa Bams tidak sampai salah naik kereta.
Lega rasanya Bams bisa masuk gerbong kereta dan masih dapat tempat duduk. Kereta ini baru berangkat  20 menit dari jadual yang dijanjikan. Di gerbong kereta sudah tidak tersisa tempat duduk yang kosong lagi. Bahkan isi setiap kursi berlebih dan masih ada yang berdiri juga.  Kondisi kereta kira-kira sama dengan kereta kelas 2 di Indonesia, ada AC tetapi tidak berfungsi .
Untuk perjalanan jauh mereka juga menyediakan bantal, dan selimut kalau mau. Â Kopi atau teh plus snack kecil juga dibagikan pada saat berangkat dan pada pagi harinya . Tetapi tidak ada TV atau hiburan lain di dalam kereta. Juga tidak ada pedagang asongan yang boleh berjualan di dalam kereta.
Satu satunya hiburan adalah si pramugari yang selalu berteriak  merdu  menyebut nama kota setiap tiba di stasiun pemberhentian. Si Pramugari berteriak sambil berjalan lenggak-lenggok diantara penumpang, mirip dengan pergantian ronde pada pertandingan tinju.  Dan lucunya setiap mendengar teriakan pramugari para penumpang yang hampir semuanya orang asing, termasuk Bams cepat-cepat membuka peta untuk mencari tahu dimana posisi pada saat itu.  Maklum itulah satu-satunya informasi yang mudah diakses, karena semua tulisan di sepanjang jalan memakai hurup sankret, mirip hurup Jawa, ora iso moco.  Dan si gadis pramugari belum bisa berbahasa asing.
Malam itu hening sekali, dan lampu juga temaram. Bams perhatikan seluruh tempat duduk dipenuhi penumpang senasib seperti dirinya. Mereka mencoba tidur tetapi mata tetap tidak bisa terpejam, entah apa yang sedang dipikirkan. Seorang Profesor ahli geology dari Chicago yang duduk sebelah Bams mencoba berbagi cerita. Dia sebenarnya hanya setengah hari memberi kuliah di salah satu universitas di Bangkok. Dan dia berpisah dengan anak istrinya yang lebih dulu terbang pulang sehari sebelumnya . Sambil bercanda dia menyesali diri sendiri  " Dosa apa ya yang telah saya  perbuat, kok sampai  seperti ini ? " ucapnya.
" Ha... Â ha ... ha .. " Si Bangladesh yang di duduk di depan langsung nimbrung. " Ini sih nggak ada hubunganya dengan dosa, nasib kita saja yang sial" ucap si Bangladesh seenaknya. Maka jadilah mereka kawan senasib. Bams juga menemukan banyak teman baru di dalam kereta karena mengalami nasib yang sama.
Pada pagi hari pemandangan di luar mulai terlihat jelas, cuaca berkabut dan terus hujan sepanjang perjalanan. Â Di tempat-tempat tertentu kereta berjalan melambat, karena rel tergenang air cukup tinggi. Kalau cuaca cerah mestinya laut bisa terlihat indah, karena di dalam map route perjalanan kereta memang melewati teluk Thailand yang membujur ke selatan.
Tiba-tiba Bams dan penumpang lain dikagetkan oleh teriakan seorang penumpang yang menawarkan ajakan untuk bergabung dalam perjalanan selanjutnya ke perbatasan Malaysia. Dia seorang perempuan Thai yang sangat lancar berbahasa Inggris. Dan mereka semua menjadi sadar bahwa setelah kereta berakhir di Hat Yai nanti, mereka masih perlu kendaraan darat lain untuk membawa mereka ke perbatasan. Waktunya, kira-kira masih butuh 4 jam lagi ditempuh dengan mobil.
Maka beruntunglah mereka mempunyai teman baru yang paham akan kota Hat Yai  dan bisa berkomunikasi dengan lancar. Menurut info teman-teman si perempuan Thai tersebut semua kendaraan via travel agent sudah full booked. Begitu juga bandara kecil sudah tidak mampu memuat penumpang lagi.
Akhirnya si perempuan ini bisa melakukan banyak kontak melalui HP untuk mencari kendaraan carteran yang bisa membawa mereka ke perbatasan. Tetapi hanya  ada 2 kendaraan yang tersedia, padahal jumlah penumpang yang akan ikut hampir 80 orang. Akhirnya keluar sebuah inisiatif diantara para penumpang untuk mengundi 20 orang yang bisa ikut dalam rombongan 2 kendaraaan carter itu. Dan Bams sangat bersyukur sebab dia termasuk yang bisa ikut kendaraan carter.
 Â
 Jum'at, 28 Nopember 2008 sekitar pukul satu siang kereta tiba di kota Hat Yai setelah menempuh perjalanan yang penuh kenangan selama 14 jam lebih. Dan benar saja, ternyata di dalam stasiun dan di luar stasiun terlihat ribuan orang yang sudah menunggu angkutan ke perbatasan. Rombongan Bams yang dipimpin oleh perempuan Thai  berjalan bergandengan tangan supaya tidak terpisah, menerobos kerumunan banyak orang dari berbagai bangsa yang tidak saling kenal .
Setelah berjalan keluar stasiun selama 20 menit dengan terus dipandu telpon Bams dan rombongannya akhirnya bertemu kendaraan penjemput yang sudah dijanjikan.  Sopir yang hanya bisa berbahasa Thai meminta mereka membayar ongkosnya terlebih dahulu sebelum naik kendaraan. Maka disitulah pertemanan sejati antar bangsa terjadi. Yang mempunyai kelebihan uang Bath memberikan pinjaman secara spontan kepada anggota rombongan yang tidak siap. Harga yang yang disepakati setiap penumpang harus  membayar Bath 2500 per orang ( sekitar Rp500,000,-), untuk transportasi sampai di Menara Kembar Kuala Lumpur .
Dan lagi-lagi si Profesor berinisiatif untuk menjadi pemimpim diantara mereka. Tekadnya hanya satu, apapun kesulitan harus saling membantu sampai tujuan akhir perbatasan dan terus ke Kuala Lumpur. Maka jadilah Bams dan rombongannya kawan senasib yang solid. Rombongan Bams ini seperti miniatur PBB ( Perserikatan Bangsa Bangsa ). Ada orang dari Amerika, Hongkong, Bangladesh, Germany, Rusia , Sweda, Thailand, dan Bams dari Indonesia.
Â
Sebelum mulai perjalanan mereka meminta sopir untuk membawa ke rumah makan untuk makan siang. Menunya apa saja terserah yang penting bisa sekedar mengisi perut untuk perjalanan  ke perbatasan. Jadilah menu hidangan mie rebus plus soup ayam yang tersaji secara kilat menjadi santapan lezat siang itu. Kemudian mereka pun berangkat meninggalkan kota Hat Yai begitu saja .
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H