Mohon tunggu...
Supriyadi
Supriyadi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, Pendaki gunung, Relawan Small Action, Petani Hidroponik

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Summit Attack Rinjani

30 September 2024   15:53 Diperbarui: 1 Oktober 2024   16:11 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
View indah panorama Rinjani (foto: dokpri)

XPDC Gunung Rinjani  (Bagian 4)

Malam itu di Plawangan Sembalun udaranya sangat dingin. Suara badai angin kencang yang menghantam tenda-tenda pendaki terdengar cukup mencekam. Sapuan angin kencang yang menghantam tenda menghasilkan suara keras menakutkan. Maklum saja Plawangan Sembalun ini adalah punggungan bukit terbuka yang tidak ada pepohonannya. Sehingga angin begitu bebas melewati punggungan terbuka tanpa penghalang.

Menurut cerita seorang guide yang tadi pagi sempat bertemu di  shelter Pos 1, kondisi badai angin di Plawangan Sembalun ini terjadi karena ada kejadian pendaki hilang yang belum ditemukan. Menurut kepercayaan penduduk setempat, jika ada pendaki hilang dan meninggal di Rinjani dan mayatnya belum ditemukan maka akan terjadi badai seperti ini. Mendengar cerita itu saya hanya mengangguk-angguk. Saya tidak tahu cerita itu benar apa salah. Tapi, sebagai penduduk lokal mestinya dia bercerita berdasarkan kejadian serupa yang pernah terjadi di gunung Rinjani ini.

Team XPDC Rinjani (foto: dokpri)
Team XPDC Rinjani (foto: dokpri)

Suara gemerisik tenda yang dimainkan oleh angin badai membuat kami tak bisa tidur. Suara badai di luar terdengar seperti deru pesawat F16 saja, begitu keras menderu-deru. Walaupun sudah berlindung dibalik sleeping bag, tapi suara-suara berisik masih terus terdengar. Dan ketika rasa kantuk telah mengalahkan suara angin badai, maka akhirnya saya pun tertidur.

Rasanya saya baru terlelap sebentar ketika di luar terdengar suara orang berjalan dengan sorot-sorot headlamp. Mereka rupanya sudah mulai summit attack pada pukul 01.00 WITA. Padahal diluar masih terdengar suara angin badai menderu-deru. Dengan pertimbangan kondisi cuaca yang kurang bersahabat, saya dan team memilih untuk melanjutkan tidur. Baru pukul 04.30 kami bangun dan mulai melakukan persiapan untuk Summit Attack.

Pukul 06.30 kami baru bergerak meninggalkan tenda untuk melakukan Summit Attack. Team kami paling belakangan melakukan summit ketika pendaki lain sudah mulai ada yang turun. Beberapa pendaki memberitahu kami bahwa di puncak sedang terjadi badai, sehingga mereka tidak bisa muncak. Kami tetap melanjutkan pendakian walau sudah mendapat informasi tentang badai. Kami terus berjalan sambil berharap bahwa badai nanti akan berlalu ketika kami tiba di atas.

View indah panorama Rinjani (foto: dokpri)
View indah panorama Rinjani (foto: dokpri)

Selepas Plawangan medannya mulai menanjak. Jalurnya merupakan jalan berpasir yang kalau diinjak kaki akan merosot ke bawah. Dengan medan seperti ini tentunya menjadi tantangan berat karena sangat menguras stamina. Selangkah demi selangkah saya terus ayunkan kaki menanjak. Beberapa kali saya harus memalingkan wajah menghindari debu ketika berpapasan dengan pendaki yang turun. Umumnya mereka turun sambil berlari sehingga debunya berterbangan kemana-mana.

Dua jam berjalan saya sudah tiba di punggungan jalur menuju puncak Rinjani. Di sebelah kanan saya nampak jelas anak gunung Barujari dengan danau Segara Anak di sekelilingnya. Sementara langit di atas warnanya biru muda dengan hiasan deretan awan putih. Sungguh merupakan lukisan alam yang begitu indah untuk memanjakan mata. Maha Besar Allah dengan segala ciptaanNya di bumi dan di langit untuk dinikmati oleh makhluk Nya yang bernama manusia.

Saya terus mendaki sampai tiba di Cemara Tunggal atau ada yang menyebut Pohon PW. Di tempat itu sudah ada Fano, Rosi dan seorang guide. Kepada saya mas guide tersebut mengatakan bahwa dia sudah berada disitu sejak jam setengah empat. Dia menunggu empat orang tamunya dari Jerman yang belum juga turun dari puncak. Dengan kondisi puncak yang sedang badai, dia tadi sempat menyarankan tamunya untuk tidak memaksa ke puncak. Tapi rupanya tamunya memaksa untuk tetap ke puncak.

Jalur turunan dari puncak (foto: dokpri)
Jalur turunan dari puncak (foto: dokpri)

" Kondisi seperti ini yang paling saya khawatirkan Bang. Ketika di puncak terjadi badai, tamu tetap memaksa untuk ke puncak. Ya tahu sendirilah Bang, orang bule itu suka penasaran dan suka nekat. Walaupun sudah saya beri tahu bahwa di atas sedang badai" terang guide tersebut. Saya sempat bertemu dengannya di Pos 2, dan saya juga sempat ngobrol dengan 4 orang tamunya.

" Saya sudah menunggu disini sejak jam setengah empat tadi, dan sampai sekarang tamu saya belum kembali. Karena mereka memaksa tetap naik, jadi tadi sudah saya bawakan 3 sleeping bag, makanan dan minuman, termasuk sebuah termos berisi minuman panas. Saya tadi berpesan jika terserang badai mereka bisa berlindung dengan sleeping bag di sela-sela jalur ke puncak." timpal mas guide tersebut.

"Saya pernah terserang badai diatas. Untuk berjalan saja sulit, hembusan anginnya terlalu kuat. Kita bisa terhempas ke jurang oleh sapuan angin badai tersebut. Bersembunyi di bawah juga tersapu debu pasir yang berterbangan. Akhirnya saya putuskan untuk turun dengan cara merayap sambil tiarap. Baju dan celana saya sobek semua terkena kerikil dan pasir. Termasuk juga muka saya pasir semua. Tapi, gapapa yang penting bisa turun dengan selamat" Begitu ucap mas guide menceritakan pengalamannya waktu terkena badai dahsyat di puncak Rinjani.

Cuaca bisa berubah-ubah begitu cepat (foto: dokpri)
Cuaca bisa berubah-ubah begitu cepat (foto: dokpri)

Memang dari bawah terlihat puncak Rinjani hari itu tertutup awan hitam pekat. Menandakan bahwa di atas sedang terjadi badai hebat. Pendaki yang menunggu cuaca membaik bertahan di letter E. Mereka berharap badai segera berlalu dan bisa melanjutkan ke puncak. Hampir 80% pendaki hari itu tidak bisa menggapai puncak karena kondisi badai yang sedang terjadi. Hanya sekitar 20% saja yang berhasil tiba di puncak dengan kondisi puncak yang tidak kelihatan apa-apa.

Saya bertemu dua orang ibu-ibu dari Medan yang baru turun dari letter E. Mereka juga duduk istirahat di cemara tunggal bergabung bersama kami. Dari raut mukanya nampak sekali kekecewaan karena tidak bisa menggapai puncak akibat cuaca buruk.

" Sayang banget, sudah jauh-jauh dari Medan sampai sini tidak bisa kesampaian ke puncak. Harus diulang lagi nih, remedy kesini lagi." Ujarnya kepada temannya yang duduk 'ndlosor' di pasir di sampingnya.

Kami hanya bisa terdiam melihat adegan percakapan mereka tersebut. Sebab dalam hati kecil kami juga mengalami kekecewaan serupa, bahwa kami juga mengalami nasib yang sama dengan mereka. Namun demi pertimbangan kesalamatan, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak. Mendaki gunung tidak berarti harus memaksakan diri bisa menggapai puncak. Jika Tuhan mengijinkan, kita bisa mendaki lagi ke Rinjani suatu saat nanti. Tentunya dengan memilih waktu mendaki yang tepat, yang kondisi alamnya sedang bersahabat. Bukannya tak akan lari gunung dikejar?

Setelah semua anggota team berkumpul di cemara tunggal, kami putuskan untuk mengambil foto bersama di lokasi cemara tunggal di bawah letter E ini. Kami semua bersepakat untuk tidak melanjutkan ke atas karena kondisi puncak yang sedang badai. Pendaki yang bertahan di letter E juga sudah banyak yang turun. Termasuk empat orang tamu bule yang ditunggu mas guide juga sudah turun. Mas guide terlihat senang setelah bertemu dengan tamunya. Mereka pun langsung pamit untuk turun lebih dulu.

Kami masih melanjutkan foto-foto di tempat itu. Sekelebat kami lihat kondisi puncak mulai terbuka, awan hitam yang memayungi puncak mulai menghilang. Sepertinya badai diatas telah berakhir. Dan dari bawah saya melihat kembali dua ibu yang dari Medan berjalan naik kembali menuju arah puncak. Kami hanya menggelengkan kepala dan berdecak kagum melihat kegigihan dua wanita tersebut. Selesai berfoto-foto, kami putuskan untuk segera kembali ke basecamp. Kembali kami menengok ke atas, ternyata kondisi puncak kembali diselimuti oleh awan hitam pekat yang menandakan bahwa badai diatas belum berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun