Menunggu Orang Lain Berubah adalah Harapan yang Sia-Sia
Terkadang kita ingin berbuat sesuatu setelah ada orang lain yang melakukan lebih dahulu. Kita menunggu ada seseorang yang memulai, barulah kita mengikuti atau ikut-ikutan demi rasa aman. Jika ada pihak lain yang menanyakan, "Mengapa melakukan itu?" Dengan enteng kita akan menjawab, "Saya hanya ikut-ikut!"
Nah, mental tidak mau disalahkan dan "selalu" menunjuk hidung orang lain adalah fenomena yang harus dihindari. Dengan alasan demi menghindari "tuduhan" karena melakukan sesuatu, seseorang banyak yang tidak mau melakukan perubahan. Mereka hanya menunggu dan menunggu. Jika sesuatu yang dilakukan orang lain tampak menguntungkan, menyenangkan, dan "tidak ada masalah", orang-orang pun "berbondong-bondong" untuk mengikuti "jejak" orang yang demikian.
Fenomena Berulang
Pada era penyewaan kaset VCD booming tahun 80-an, di mana-mana kita dapat menjumpai lapak penyewaan kaset "bajakan" tersebut. Seolah-olah semua orang akan menggemari lagu-lagu atau film yang diputar menggunakan perangkat sederhana yang bisa didengarkan atau ditonton beramai-ramai sekeluarga atau satu komunitas.
Fenomena tersebut tidak berlangsung lama. Kemudian pada era penyewaan komputer untuk permainan game hadir, di mana-mana kita juga dapat menjumapi lapak tempat penyewaan komputer tersebut. Era internet sudah mulai menggejala saat itu. Hingga saat ini pun, penyewaan komputer untuk bermain game dan yang lain-lain masih ada. Sebagian besar sudah gulung tikar karena konsumen menurun.
Masyarakat yang ingin mencoba-coba bisnis dengan memanfaatkan gejala booming merambah dunia kuliner. Sebuah lapak mungil yang waktu zaman dulu hanya digunakan untuk para penjual rokok eceran, kini dimanfaatkan oleh pedagang minuman dengan berbagai variasi. Satu lapak berjualan, tidak lama kemudian muncul lapak lain sejenis.
Sebagian masih bertahan dan tidak sedikit yang gulung tikar. Lapak yang dibangun dengan biaya yang relatif murah itu (umumnya berukuran tidak sampai empat meter persegi) banyak yang mangkrak di tepi-tepi jalan atau di sudut-sudut perkampungan.
Jenis minuman baru dengan brand tertentu sering hadir. Model ukuran Jumbo sempat menggejala. Pada suatu wilayah hadir, wilayah lain tidak lama kemudian muncul. Masayarakat, khusuanya anak-anak dan remaja memang merupakan pangda pasar yang empuk.
Anak-anak sepulang sekolah sering mampir untuk membeli minuman dingin dengan pemanis buatan yang membuat ketagihan. Dengan adanya media sosial yang sangat mudah diakses, promosi minuman dingin dengan harga merakyat sangat gencar dilakukan.
Ciptakan Ide Baru
Masyarakat yang ingin mencoba peruntungan, sering hanya meniru sesuatu yang sudah ada. Generasi milenial yang pernah hidup (berkuliah) di kota-kota besar, ada yang mempunyai ide (mencontek) fenomena di sana pada saat pulang kampung. Dengan penuh percaya diri, ia membuka lapak, menjual minuman dingin, misalnya, di kampungnya. ia merasa yakin akan laku karena di kampungnya belum ada yang berjualan model minuman seperti itu.
Dengan modal yang ada dia mulai mencari tempat yang strategis, menyiapkan peralatan dan bahan yang diperlukan. Setealh semua siap, mulailah ia berjualan.
Betapa kaget dirinya saat mengetahui "belum ada" tetangga atau orang lewat yang mampir ke lapaknya. Seharian menunggu, hanya satu atau dua orang yang datang untuk membeli. Padahal lokasi tempat ia berjualan cukup strategis, banyak orang lalu lalang. Anak-anak sekolah dan masyarakat umum.
Apa yang salah? Rupanya ia belum melakukan riset sederhana. Ia belum mengetahui selera minuman masyarakat di kampungnya. Kedua, ia belum melakukan promosi atau pengenalan produk kepada masyarakat. Tahu-tahu langsung berjualan. Kemudian harga minuman yang dipatok juga tidak sesuai dengan perekonomian masyarakat. Di wilayah itu umumnya anak-anak sekolah membeli minuman dengan harga, misalnya Rp 3.000 (iga ribu rupiah), kemudian ia mematok harga Rp 5.000 (lima ribu rupiah).
Tentu saja, anak-anak sekolah yang diberi uang saku hanya untuk memblei minuman seharga tiga ribu rupiah tidak akan pernah singgah ke lapak tersebut.Â
Dari kisah di atas dapat disimpulkan bahwa untuk membuka usaha baru perlu persiapan yang banyak, di antaranya melakukan rioset sederhana. Buka usaha asal buka dan meniru di tempat lain, belum tentu akan berhasil.Â
Pelaku usaha baru, khususnya orang yang baru selesai kuliah perlu melakukan banyak hal sebelum memutuskan untuk memilih jenis usaha tertentu.
Magang Lebih Aman
Usia masih muda memiliki peluang besar untuk maju. Jika belum memiliki modal uang yang cukup, lebih  baik melakukan magang atau ikut pengusaha lain yang sudah "jadi". Dengan cara menjadi karyawan, seseorang akan mempunyai pengalaman berharga utnul dikembangkan pada kemudian hari. Tidak sedikit pengusaha besar saat ini pada awalnya adalah seorang karyawan atau karyawati pada sebuah perusahaan.
Ada pekerja pada tukang jahit (tailor) yang sanggup mendirikan usaha sendiri dan lebih sukses. Demikian pula ada karyawan penjual roti yang sanggup mendirikan perushaan sendiri setelah mempunyai modal yang cukup. Contoh lain, pengusaha restoran. Pada awalnya ia hanya seorang karyawan di restoran itu. Setelah banyak belajar, ia mengumpulkan modal dan sanggup mendirikan restoran sendiri yang "menyaingi" restoran tempat ia bekerja sebelumnya.
Banyak PHK Perlu Inovasi
Berita pemecatan (PHK) karyawan atau pegawai cukup sering kita dengar. Mereka adalah "korban" yang harus segera bangkit. Pesangon yang diberikan dari perusahaan harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin agar tidak cepat habis untuk "coba-coba" usaha. Selektif dan kreatif perlu dilakukan.
Dengan uang pesangon yang ada harus cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mencoba usaha yang menghasilkan uang, bukan menghabiskan uang.
Piranti atau perangkat yang dimiliki perlu dimanfaatkan untuk berusaha atau mendirikan usaha mandiri. Untuk melamar kerja ke perusahaan atau kantor lain perlu proses yang tidak mudah jika tidak ada koneksi atau kenalan orang dalam. Hal itu sudah lazim berlaku di mana-mana.
Untuk penjadi pegawai "rendahan" pun perlu koneksi atau kenalan orang dalam. Tidak mungkin orang yang tidak jelas asal-usulnya (tidak dikenal di lingkungan perusahaan/kantor) tiba-tiba diangkat menjadi karyawan. Kalau pun ada, kemungkinannya satu di antara seribu!
Masyarakat umumnya senang berdagang atau berjualan untuk menambah kebutuhan sehari-hari. Dengan berdagang atau berjualan, mereka berharap ada pemasukan meskipun kecil. Menurut mereka dagangan yang tidak laku dijual dapat dikonsumsi sendiri. Itu jika mereka berjualan makanan atau minuman.
Lakukan Perubahan meskipun Kecil
Untuk memulai usaha atau menambah usaha yang sudah ada, seseorang perlu menciptakan sesuatu yang baru. Jika di sekeliling rumah sudah ada usaha laundry, kita tidak perlu melakukan usaha serupa. "Tukang cuci modern"seperti itu sudah banyak yang tutup. Padahal beberapa waktu silam, usaha seperti itu sempat booming. Perang harga sempat terjadi.
Hanya pengusaha laundry yang benar-benar terpercaya yang masih bertahan hingga saat ini. Usaha berjualan gorengan tentu sudah ada di sekitar kita. Jangan ikut-ikutan berjualan gorengan jika belum mempunyai pengalaman dan tidak mempunyai inovasi jenis gorengan yang dijual.
Di rumah mungkin ada laptop atau tab (tablet) yang masih layak digunakan. Nah, dengan hanya bermodal laptop atau komputer meja, kita dapat melakukan usaha "online" yang tidak memerlukan biaya besar. Jaringan internet tentu ada di rumah. Nah, tungguy apa lagi. Berselancarlah di dunia maya. Kita akan menemukan banyak peluang usaha yang dapat dilakukan hanya dengan duduk-dudu di depan komputer.
Tidak perlu keluar rumah (berarti menghemat biaya transportasi), tidak perlu keluar modal usaha (membeli peralatan, sewa tempat), kita sudah dapat "bekerja" baik sebagai kerja sambilan atau bahkan kerja utama.
Penajam Paser Utara, 7 Agustus 2024Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H