Jumpa Pengamen Tunanetra dengan Suara Bagus di Jalan Malioboro Yogyakarta
Berkunjung ke Yogyakarta pasti banyak cerita. Pada tanggal 25 Juni 2024 saya dan istri tercinta naik kereta api (KRL) dari stasiun Klaten menuju stasiun Tugu Yogyakarta. Sebelum berangkat, kami sudah memesan kamar pada sebuah hotel tidak jauh dari stasiun Tugu. Seperti hotel lain pada umumnya, untuk cek-in baru bisa dilakukan setelah pukul 14.00 waktu setempat.
Pada hari Selasa itu kami berangkat agak pagi sehingga tiba di stasiun Tugu belum waktu untuk cek-in padahal kami membawa tas berisi pakaian dan laptop yang cukup berat. Saya tidak sanggup untuk menggendong tas punggung itu dalam waktu lama. Untuk itu, saya memutuskan untuk menitipkannya pada tempat penitipan barang yang cukup aman.
Kebetulan pada kawasan Slasar Malioboro yang berada di dekat stasiun Tugu ada tempat penitipan barang (tas, koper, dan lain-lain). Saya pun membaca informasi yang ditempelkan pada pintu kaca. Selanjutnya saya membuka pintu kaca tersebut dan menanyakan lebih lanjut terkait aturan dalam penitipan barang.
Setiap barang yang dititipkan akan dilihat ukurannya, M atau L. Tarif berbeda karena tempat atau loker untuk menyimpan barang juga berbeda ukurannya. Kebetulan tas yang saya bawa berukuran M sehingga ongkos penitipan lebih murah dalam setiap jam-nya, yaitu Rp 20.000 (dua puluh ribu rupiah) untuk penitipan barang selama enam puluh menit.
"Terlambat satu menit saja sudah dihitung untuk satu jam berikutnya!" demikian pesan dari petugas jaga.
Saya rencana mau menitipkan selama tiga jam, mulai pukul 11.00 WIB hingga pukul pukul 14.00 WIB tetapi dalam daftar harga tidak ada pilihan paket untuk tiga jam. Pilihan waktu menitipkan barang adalah satu jam, dua jam, sembilan jam, dan 24 jam. Semakin lama menitipkan semakin murah biayanya.Â
Akhirnya saya memilih paket penitipan dua jam dengan biaya Rp 40.000 (empat puluh ribu rupiah). Mahal atau murah bergantung kondisi seseorang. Prinsip saya: lebih baik keluar uang daripada punggung dan lengan menjadi sakit gara-gara terlalu lama menggendong tas.
Mau Berswafoto di Depan Tulisan Jl. Malioboro
Berkunjung ke Yogyakarta belum lengkap jika belum berfoto di depan tiang dana papan bertuliskan Jl. Malioboro, demikian kata orang. Istri saya menanyakan arah tujuan setelah menitipkan tas di loker tersebut. Dengan jujur saya sampaikan bahwa saya ingin berfoto di depanpapan dengan tulisan Jl. Malioboro.Â
Sambil menunggu waktu cek-in di hotel, waktu perlu diisi dengan aktivitas yang dapat mengesankan (membuat kenangan). Demikian hal yang saya inginkan. Kalau menunggu waktu hanya duduk-duduk tentu akan membosankan.
Berjalan kaki dari Slasar Malioboro di dekat stasiun Tugu menuju papan bertuliskan Jl. Malioboro membutuhkan waktu tidak sebentar. Jarak yang harus ditempuh sekitar tiga kilometer. Kami tidak ingin naik becak atau naik dokar alias andong. Kami memang sengaja ingin berjalan kaki pada cuaca yang agak panas hari Selasa itu.
Berhubung cukup banyak para pejalan kaki di sisi kiri dan kanan jalan beraspal, kami tidak merasa malu. Area trotoar yang lebar memang diperuntukkan bagi para pejalan kaki. Selain itu, ada banyak bangku atau tempat duduk yang cukup kokoh disiapkan di sepanjang trotoar.
Ketika kami melewati sebuah toko Lumpia, ada pengamen tunanetra yang sedang menyanyi dan berjalan berlawanan arah dengan kami. Pengamen itu menyanyi sambil berjalan ke arah utara sedangkan kami berjalan ke arah selatan.Â
Selama beberapa saat saya mengamati pengamen wanita itu. Saya dengarkan suaranya dan tentu saja saya rekam sebentar untuk kenang-kenangan. Pengamen itu berjaln perlahan tiada henti sambil bernyanyi. Suaranya cukup bagus. Beberapa orang pejalan kaki ada yang memberikan uang kepada pengamen tunanetra tersebut.
Banyak Orang Antre Berfoto
Setelah berjalan cukup berkeringat, akhirnya kami sampai di papan yang bertuliskan nama Jl. Malioboro. Pada saat kami tiba di dekat tiang dan papan bertuliskan nama jalan ikon Yogyakarta itu, sudah ada beberapa orang yang antre untuk berfoto. Saya tidak ingin kehilangan kesempatan.
Istri tercinta yang kurang suka difoto terpaksa saya curi posisinya ketika berada dekat papan bertuliskan nama Jl. Malioboro. Hasil pemotretan kurang bagus tetapi sudah cukup sebagai bukti bahwa kami sudah pernah sampai di lokasi itu.
Saya berswafoto dengan latar beberapa orang yang sedang bersiap-siap untuk berfoto bersama. Memang saya sengaja melakukan itu untuk menimbulkan kesan alami, tidak dibuat-buat. Â
Setelah beberapa saat berada di sekitar tiang dan papan bertuliskan nama Jl. Malioboro, kami pun langsung berbalik arah, berjalan ke arah utara, kembali ke posisi awal berangkat.
Perjalanan kembali ke posisi awal dapat dibaca dan disaksikan videonya dalam tulisan berikut ini. Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan itu, kami singgah di sebuah warung makan di Slasar Malioboro. Catatan saat kami berdua menikmati hidangan di warung itu dapat dibaca pada tulisan ini.
Selesai menikmati makan di siang hari itu (25/6/2024) kami bersiap menuju hotel tempat menginap setelah tas berisi pakaian dan laptop saya ambil dari tempat penitipan barang. Ongkos empat puluh ribu tidak bertambah. Artinya, waktu menitipkan barang tidak lebih dari dua jam. Padahal, saya merencanakan menitipkan barang selama tiga jam. Untuk itu, saya tidak perlu menambah biaya penitipan barang (tas).
Kebetulan hotel tempat kami menginap cukup dekat dengan warung tempat kami makan tersebut. Kami tinggal menyeberang jalan dan berjalan kaki beberapa meter sudah sampai di lobi hotel. Tidak perlu biaya transpor lagi.***
 Penajam Paser Utara, 8 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H