Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bernostalgia Makan Soto Ayam Seorang Diri Membuat Kikuk dan Salah Tingkah

3 Juli 2024   18:34 Diperbarui: 3 Juli 2024   18:37 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bernostalgia Makan Soto Ayam Seorang Diri Membuat Kikuk dan Salah Tingkah

Menikmati semangkok soto ayam sangat nikmat ketika dilakukan beramai-ramai bersama kawan. Pada saat masih aktif bekerja, saya sering mengajak atau diajak teman kantor untuk menikmati soto ayam yang hangat dan lezat di warung dekat kantor kemenag (kementerian agama) Kabupaten Penajam Paser Utara di lingkungan Islamic Center. Waktu itu ketika ada kawan berulang tahun, kami sering berombongan makan-makan di warung sederhana tetapi enak masakan sotonya.

Hari Rabu (3/7/2024) saya ingin menikmati soto di tempat itu lagi. Berhubung saya sudah purnatugas alias pensiun, saya berangkat ke warung soto itu seorang diri. Aroma dan kelezatan kuah soto membuat rindu, ingin menyantap lagi.

Setelah selesai urusan di bank dan kantor pos, waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 Wita. Gerimis tipis masih mengguyur. Namun, saya tetap melajukan sepeda motor menuju warung soto yang berada di pinggir jalan satu deret dengan kantor kemenag kabupaten. Jarak yang harus saya tempuh lebih dari enam kilometer dari kantor pos Penajam.

Dokpri
Dokpri
Tiba di lokasi, saya melihat tidak banyak pengunjung atau pembeli berada di warung soto tersebut. Beberapa orang tampak sudah selesai menikmati soto. Mereka sedang melakukan pembayaran. Saya berdiri di dekat mereka sambil tidak lupa melakukan aksi jeprat-jepret.

Ada beberapa orang pembeli memakai seragam tetapi tampaknya mereka membayar masing-masing sehingga perlu waktu agak lama saya harus menunggu proses pembayaran yang mereka lakukan. Setelah para pembeli berseragam coklat itu berlalu, saya pun segera memesan "model" makanan soto yang saya inginkan.

"Lombok satu, nasi dipisah!"

Warung soto tersebut tidak menyiapkan sambal untuk menambah nikmat rasa soto. Para pembeli diminta menyebutkan jumlah lombok (cabai) yang langsung digilas (diuleg) di dalam setiap mangkok soto. Seperti biasa saya cukup satu lombok. Kemudian nasi dipisahkan dalam mangkok lain. Jika pembeli tidak mengatakan nasi dipisahkan, maka nasi langsung dicampurkan dalam satu mangkok dengan kuahnya.

Makan Seorang Diri Membuat Salah Tingkah

Setelah saya melakukan pemesanan "model" soto yang saya inginkan, segera saya mendekati rombong atau lapak tempat gorengan disajikan. Sebelum memesan, saya bertanya lebih dahulu apakah gorengan yang sudah tersedia itu masih hangat. Penjaga gorengan menanyakan apakah saya menginginkan gorengan yang masih hangat. Tentu saja.

"Baik, saya gorengkan sebentar, ya!"

Saya segera mencari tempat duduk yang agak di pinggir dengan meja berukuran kecil, bukan meja panjang. Biasanya meja panjang dipilih oleh pembeli yang berombongan. Saya agak kikuk berada di warung seorang diri, tanpa teman yang dapat diajak mengobrol.

Dokpri
Dokpri
Pada sisi sebelah kiri tempat duduk yang saya pilih ada sebuah tiang dan kaleng kerupuk. Dua benda tersebut agak sedikit menghalangi pandangan pembeli lain ke wajah saya yang sudah pensiun ini. Meskipun demikian, saya tetap beraksi dengan melakukan jeprat-jepret.

Saat asyik melakukan jeprat-jepret, terlihat beberapa pengunjung mulai berdatangan. Umumnya mereka berombongan. Ada yang berdua, bertiga, dan berempat.

Pramusaji bagian minuman mendekati saya dan menanyakan jenis minuman yang saya inginkan. Saya pun memilih minuman jeruk hangat. Ia tampak menuliskan pada sebuah buku kecil yang selalu dibawa saat menanyakan pesanan minuman kepada pengunjung yang sudah duduk.

Saya perhatikan ada empat pramusaji atau pegawai warung soto yang terkenal dengan nama Warung Soto DPR itu. DPR adalah singkatan dari kata Di bawah Pohon Rindang.  

Dokpri
Dokpri
Beberapa saat kemudian pesanan saya diantarkan ke meja. Ada tiga mangkok yang disajikan. Satu mangkok berisi kuah soto dan racikannya. Satu mangkok berisi nasi putih. Kemudian ada satu mangkok kecil berisi jeruk nipis yang dipotong-potong. Warna kuah soto yang kekuning-kuningan dan aroma bumbu yang lezat langsung menggugah selera untuk segera menikmati hidangan hangat itu.

Sebelum mulai menyantap, saya aduk-aduk lebih dahulu isi mangkok yang cukup banyak menurut ukuran saya. Potongan daging ayam saya perhatikan lebih banyak dibandingkan warung soto lain yang pernah saya kunjungi. Ada kol atau kubis yang dipotong-potong kecil. Ada daun seledri yang juga dipotong lebih kecil. Ada kecambah. Satu lagi ada bawang merah goreng yang menimbulkan aroma sangat merangsang. Kuah berwarna agak kekuning-kuningan cukup menimbulkan gairah untuk segera menyantap.

Di atas meja tersaji stoples kotak berisi lauk tambahan berupa sate hati ayam dan ampela yang digoreng. Lebih tepat, hati ayam dan ampela digoreng kemudian digabungkan (ditusuk) dengan tusukan sate.

Dokpri
Dokpri
Saya mengambil satu tusuk hati ayam dan ampela tersebut. Aroma hidangan tambahan itu semakin menambah selera untuk segera menyantap soto yang sudah menimbulkan semangat untuk segera melahap.

Satu lagi, ada kerupuk berbungkus plastik yang saya ambil sebagai "iringan musik" dalam menikmati soto ayam. Makan nasi tanpa kerupuk, ibarat orang menyanyi tanpa iringan musik!

Pada saat menikmati santapan, pandangan mata saya tidak henti melirik orang-orang yang baru masuk warung. Saya merasa agak gelisah karena hanya duduk seorang diri menikmati hidangan lezat itu. Saya mengamati lewat lirikan mata, siapa saja pengunjung yang baru masuk warung. Kebetulan saya duduk menghadap ke rombong saji soto. Setiap pengunjung pasti akan menuju rombong soto untuk memesan "model" soto yang dinginkan, tepatnya berapa lombok yang perlu digilas (diuleg) dalam mangkok soto.

Dari sekian pengunjung yang baru masuk, tampaknya tidak ada seorang pun yang saya kenal. mereka pun (mungkin) tidak mengenali saya yang sudah berumur 60 tahun lebih ini.

Ketika selesai menikmati soto, saya segera mendekati lapak yang menyajikan gorengan. Saya menanyakan pesanan gorengan yang sudah saya sampaikan sebelum duduk.

"Sebentar, Pak. Masih digoreng. Bapak pesan tempe, ya?"

"Betul. Berapa satu?"

"Dua ribu, Pak!"

Satu potong tempe goreng tepung dengan harga dua ribu rupiah. Saya pun segera menjawab bahwa saya perlu tiga potong. Dalam pemikiran saya, ukuran tempe tepung tidak terlalu besar. Itu mengacu pada ukuran tempe yang sering digoreng istri tercinta di rumah.

"Baik, Pak. Nanti saya antarkan di meja!"

iga potong tempe goreng tepung (dokpri)
iga potong tempe goreng tepung (dokpri)
Tidak berapa lama, tiga potong tempe goreng tepung diantarkan ke meja di tempat saya duduk. Saya merasa kaget karena ukuran tempe yang cukup besar. Bisakah saya menghabiskan tiga potong tempe goreng itu?

Nasi yang berada di mangkok tidak habis saya santap, sekarang ada tambahan tiga buah tempe goreng. Untung ada sambal disertakan dalam sebuah piring kecil. Dengan mencelupkan tempe ke dalam sambal, semangat untuk makan akan bdrtambah.

Nasi dalam mangkok masih tersisa (dokpri)
Nasi dalam mangkok masih tersisa (dokpri)

Dengan perlahan saya potong tempe goreng sedikit demi sedikit. saya celupkan ke dalam piring kecil berisi sambal. Tempe terasa masih hangat. Pelan-pelan saya kunyah sedikit demi sedikit. Tempe bukan karbohidrat sehingga saya tidak khawatir menyantap tempe itu.

Setelah selesai menikmati semua hidangan yang tersaji di atas meja, termasuk menghabiskan minuman jeruk hangat, saya mengamati situasi. Tsrlihat para pengunjung warung masih asyik menikmati hidangan masing-masing. saya pun segera berdiri untuk berjalan menuju tempat pembayaran.

Satu porsi soto ayam ditambah satu tusuk sate hati ayam dan ampela goreng, satu krupuk berbungkus plastik, tiga potong tempe goreng tepung, plus minuman jeruk hangat  dengan harga Rp 40.000 (empat puluh ribu rupiah). 

Berswafoto sebelum Meninggalkan Warung

Setelah membayar makanan dan minuman yang saya santap, saya segera menuju tempat sepeda motor diparkir. Saya eprhatikan di tepi jalan ada beberapa mobil terparkir. Pencinta soto ayam warung DPR rupanya bukan hanya dari kalangan yang naik sepeda motor. Mereka yang naik mobil pun ada yang suka makan soto di sana.

Dokpri
Dokpri
Dengan mengambil posisi yang sesuai selera, saya melakukan swafoto dengan latar kendaraan para pembeli soto DPR. Saya sebenarnya agak kikuk atau kurang sreg seorang diri berada di warung tersebut. Berhubung tuntutan lidah yang ingin bernostalgia dengan makanan yang (sering) dinikmati kala masih aktif bekerja, saya pun "nekat" pergi ke warung soto itu.***

Penajam Paser Utara, 3 Juli 2024

 

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun