Dengan langkah sedikit malas mama menuju kamar tidurnya. Aku yakin mama hanya akan sebentar di kamar untuk berganti pakaian. Ia akan balik ke dapur lagi. Mama selalu tidak tega melihat anak semata wayangnya ini mengerjakan tugas-tugas rumah. Padahal aku sangat ingin mandiri.
Dugaanku benar. Tidak sampai lima menit mama sudah kembali ke dapur dengan baju daster warna biru. Sebelum menyentuh bahan-bahan untuk dimasak, mama mencuci tangan terlebih dahulu.
"Mama silakan duduk manis memberi aba-aba. Biarlah Putri yang berdiri di depan kompor dan meja saji," celotehku sambil tersenyum.
Kulihat mama menganggukkan kepala. Setelah mengelap tangannya, mama duduk di kursi dekat meja saji. Ia amati semua bahan yang sudah aku jajar di atas meja.
Sambil memberikan instruksi, mama menyelipkan nasihat-nasihat terkait tugas-tugas seorang wanita baik di masa remaja, masa dewasa, dan masa menikah kelak. Dengan bahasa yang mudah dipahami, mama selalu menekankan bahwa seorang wanita adalah ratu rumah tangga.
"Jadi, seorang ratu harus dapat tampil memukau di hadapan rakyatnya. Siapa rakyatnya, ya, anak-anaknya. Sang raja atau suaminya harus dijunjung tinggi kewibawaannya sehingga roda rumah tangga dapat berjalan sebagaimana mestinya," ucap mama dengan lebih tenang.
"Sang raja kita pukul berapa biasa pulang, ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Jika tidak ada rapat mendadak, biasanya pukul lima sore sudah tiba di rumah," jawab mama santai.
"Apakah sayur santan labu merah dan kacang panjang termasuk makanan kesukaan sang raja?" tanyaku sambil melirik ke arah mama.
"Sang raja tidak pilih-pilih jenis masakan. Asal halal, enak, dan lezat, pasti suka," tutur mama dengan bangga.
"Baik ratu. Selanjutnya, apa yang harus aku masukkan ke dalam panci?" ucapku sambil mengecek bahan yang belum aku masukkan.