Belum ada dua menit, buru-buru kompor aku matikan. Ternyata, sayur mentah belum siap dimasukkan. Tadi aku lupa mencucinya setelah aku potong-potong. Demikian pula bahan yang lain, belum semuanya siap dimasukkan panci.
Dalam hati aku tersenyum. Beginilah kalau jarang turun langsung di dapur. Tahunya hanya makan. Tidak mengerjakan sendiri proses tahap demi tahap sampai masakan matang.
Usai mencuci semua bahan, ada suara ketukan pintu ruang tamu. Sebelum beranjak ke depan, aku tengok jam dinding di ruang dapur itu. Jarum jam menunjukkan pukul 11.00. Setengah berlari aku menuju ruang tamu.
"Mama?" ucapku terkejut setelah kulihat wajah mamaku muncul dari balik pintu.
"Kamu tidak pergi kuliah, Putri?" tanya mama sambil melangkah masuk.
Mama langsung menuju dapur. Dia perhatikan bahan-bahan yang sudah aku jajar di atas meja. Aku memegang lengan mama. Sebelum aku mulai berbicara, mama terlebih dahulu berkata.
"Barusan Karsi kirim SMS, ayahnya kumat lagi penyakitnya. Apakah dia tidak memberitahukan padamu?" cecar mama dengan nada menyelidik.
Wajah mama terlihat kusut. Ada rasa khawatir yang sempat aku tangkap. Mama sering begitu. Jika mbak Karsi tidak melaksanakan tugasnya, mama selalu izin dari tempat tugasnya untuk menggantikan peran mbak Karsi.
"Aku yang mengantarkan mbak Karsi ke terminal bus," ucapku sambil berjalan menuju tempat cuci tangan.
"Kenapa kau tidak bilang pada mama?" tanyanya lagi dengan nada meninggi.
Mama terlihat benar-benar marah. Nada tinggi yang dilontarkan sungguh merupakan ungkapan emosi tingkat dewa. Wajahnya yang tampak memerah menunjukkan darahnya mulai mendidih. Jika situasi seperti itu, aku selalu berusaha meredam kemarahan mama.