Merdeka Belajar Tidak Merdeka bagi Guru?
Pada pekan-pekan ini para guru di Sekolah Penggerak Angkatan Kedua sedang disibukkan dengan implementasi Kurikulum Merdeka.Â
Mereka baru saja mendapatkan pelatihan untuk melaksanakan kurikulum "baru" tersebut. Satu hal yang menjadi fokus dalam kurikulum tersebut adalah "pembelajaran berdiferensiasi". Proses pembelajaran yang berdiferensiasi perlu persiapan matang.
Seorang guru di Sekolah Penggerak tidak boleh hanya asal-asalan menamakan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di kelasnya dengan KBM yang sudah berdiferensiasi hanya dengan teknik membagi kelas menjadi tiga kelompok.Â
Kelompok A dikatakan kelompok untuk peserta didik yang dikatakan "pintar" dari sisi kognitif. Kemudian kelompok B adalah kelompok peserta didik yang dikategorikan "menengah".Â
Kelompok ini dikatakan pintar masih belum, dikatakan masih "oon" juga tidak. Kemudian kelompok C disebut sebagai peserta didik yang "masih jauh dari yang diharapkan".
Guru harus berhati-hati membuat kelompok-kelompok seperti itu agar peserta didik tidak "sakit hati". Mengapa?Â
Seorang peserta didik yang pada masa Sekolah Dasar merasa tergolong kelompok "pintar" kemudian pada saat masuk kelas tujuh SMP tiba-tiba dimasukkan pada kelas "lower" atau kelompok C, pasti akan "berduka cita".
Guru pada jenjang SMP harus mencari tahu latar belakang para peserta didik pada saat masih bersekolah di SD. (Wah, ribet, ya?Â
Namanya Sekolah Penggerak, ya... harus rajin bergerak). Memang harus ribet kalau menginginkan tidak ada protes dari peserta didik dan orang tuanya.